BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Dalam ilmu ushul fiqh kita akan mendapatkan
pembahasan tengtang mutlaq, muqayyad,
mujmal, dan mubayyan dalam
ayat dan lafadz al-qur’an. Dengan mengetahui ayat-ayat yang mutlaq dan muqayyad, lafadz-lafadz
yang mujmal dan mubayyan, maka akan sangat
memudahkan bagi kita untuk memahami dan mengetahui maksud dari suatu ayat dan
lafadz tersebut. Dan dengan mengetahui ayat dan lafadz, maka akan mudah bagi seorang
mujtahid beristimbat untuk mendapatkan suatu hukum. Ketika hukum sudah didapat,
maka akan memudahkan untuk mengamalkannya.
Untuk memudahkan pemahaman tentang mutlaq, muqayyad, mujmal, dan mubayyanb. Maka penulis akan
membahas tentang pengertian dan penjelasan mutlaq, muqayyad, mujmal dan mubayyan, disertai contohnya dari ayat- ayat al-qur’an.
B. Rumusan
masalah
1.
Apa pengertian
dari mutlaq, muqayyad, mujmal,dan mubayyan
?
2.
Apa saja
kaedah-kaedahnya ?
3.
Apa saja
macam-macam bayyan ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Mutlak Dan Muqoyyad
1.
Mutlak
Kata mutlaq secara
sederhana berarti tiada terbatas.
اَلْمُطْلَقُ
مَا دَلَّ عَلىَ فَرْدٍ اَوْأَفْرَادٍشَائِــــعَـةٍ بِدُوْنِ قَـيْــــدٍ
مُسْتَقِــلٍّ لَفْــــــظاً
Artinya:
“Mutlaq adalah perkataan
yang menunjukkan satu atau beberapa objek yang tersebar tanpa ikatan bebas
menurut lafal.”
Dalam rumusan yang
berbeda namun saling berdekatan, Amir Syarifuddin,[2] mengutip
beberapa definisi para ulama ushul fiqh, sebagaimana berikut:
Al-Amidi memberikan
definisi:
هُوَالَّلـفْـظُ
الدَّالُّ عَلىَ مَدْلُـوْلِ شَائِــعٍ فِى جِـنْـسِـــهِ.
artinya:
“Mutlaq ialah lafal
yang memberi petunjuk kepada madlul (yang diberi petunjuk) yang mencakup dalam
jenisnya.”
Abu Zuhrah mengajukan
definisi:
اَلَّلفْــظُ
اْلمـُــطْلَـقُ هُوَالَّذِى يَـدُلُّ عَلىَ مَوْضُوْعِهِ مِنْ غَيْرِ نَظَـــرٍ
اِلىَ اْلوَاحِـدَةِ اَوِ اْلجَمْــعِ اَوِ اْلوَصْفِ بَلْ يَدُلُّ عَلىَ
اْلمَـاهِــيَةِ مِنْ حَيْثُ هِيَ.
artinya:
“Lafal
mutlaq adalah lafal yang memberi petunjuk terhadap maudu’nya (sasaran
penggunaan lafal) tanpa memandang kepada satu, banyak atau sifatnya, tetapi
memberi petunjuk kepada hakikat sesuatu menurut apa adanya.”
Contoh dari lafal mutlaq adalah
dalam firman Allah swt
(QS. Al-mujadilah [58]:
3) yang menjelaskan tentang kifarat bagi seseorang yang
telah melakukan perbuatan zihar terhadap istrinya:
...فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا...
Terjemah:
“…maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur...”
Kata roqobah (seorang
budak) pada ayat tersebut tidak diikuti oleh kata yang menerangkan jenis budak
yang disyaratkan untuk dimerdekakan sebagai kifarat zihar, sehingga
ayat ini berlaku mutlaq. Oleh karena itu, pengertian ayat ini
adalah kewajiban untuk memerdekakan seorang budak dengan jenis apapun juga,
baik yang mukmin ataupun yang kafir tanpa adanya ikatan.
2.
Muqoyyad
Secara
bahasa, muqoyyad berarti terikat,[3] atau
yang mengikat, yang membatasi. Secara etimologi, muqoyyad adalah
suatu lafal yang menunjukkan suatu hal, barang atau orang yang tidak
tertentu (syai’ah) tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri
berupa perkataan. Definisi ini sejalan dengan uraian yang dikemukakan oleh Imam
al-Syafi’i seperti dikutip oleh Muhlish Usman,[4] muqoyyad adalah
lafal yang menunjukkan satuan-satuan tertentu yang dibatasi oleh batasan yang
mengurangi keseluruhan jangkauannya. Pembatasan tersebut dapat berupa sifat,
syarat, dan ghayah.[5]
Sebagai contoh adalah firman Allah swt dalam (QS. al-Nisa’ [4]:
92), tentangkifarat bagi seseorang yang membunuh tanpa sengaja,
yaitu:
فَتَحْرِيرُ
رَقَبَــةٍ مُــؤْمِنـــَةٍ...…
artinya:
“…maka (hendaklah si
pembunuh) memerdekakan hamba-sahaya yang mukmin…”
Dalam ayat tersebut,
kata roqobah adalah kata yang berlakumuqoyyad karena
ia dibatasi dengan kata mu’minah. Hal ini berarti bahwa tidak
sembarang budak yang dapat dimerdekakan dalam permasalahan kifarat bagi
orang yang membunuh tanpa sengaja ini, tetapi budak itu haruslah budak yang
mukmin.
B.
Kaedah-kaedah Mutlak Dan Muqoyyad
Imam al-Syafi’i seperti
dalam Sapiudin Shidiq,[6] menjelaskan
kaidah-kaidah yang berkaitan dengan mut}laq dan muqoyyad sebagaimana
berikut:
1. Hukum mutlaq.
Lafal mutlaq dapat
digunakan sesuai dengan kemutlakannya. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ
يَبْقَى عَلَى إِطْلَاقِهِ مَالـَـمْ يَقُمْ دَلِــْيلٌ عَلَى تَقْـِـييْدِهِ.
Terjemah:
“Mutlaq itu ditetapkan
berdasarkan kemutlakannya selama belum ada dalil yang membatasinya.”
Contoh: (QS. Al-Nisa’
[4]: 23).
...وَأُمَّهَاتُ
نِسَائِكُمْ...
artinya:
“…dan ibu-ibu dari
istri-istrimu…”
Ayat ini mengandung
arti mutlaq karena tidak ada kata yang mengikat atau membatasi
kata ibu mertua. Oleh karena itu, ibu mertua tidak boleh dinikahi,
baik istrinya (anak dari ibu mertuanya) itu sudah dicampurinya atau belum.
2. Hukum muqoyyad.
Lafal muqoyyad tetap
dinyatakan muqoyyad selama belum ada bukti yang me-mutlaq-kan.
Kaidahnya:
اَلْمُـقَــَّيدُ
باَقِىٌ عَلَى تَقْيِــيْدِهِ مَالـَـمْ يَقُمْ دَلِــْيلٌ عَلَى إِطْــــلَاقِهِ.
Artinya:
“Muqoyyad itu
ditetapkan berdasarkan batasannya selama belum ada dalil yang menyatakan
kemutlakannya.”
Contoh: (QS.
Al-Mujadalah [58]: 3-4):
وَالَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
فَمَنْ
لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ
artinya:
“ (3)
Orang-orang yang menz}ihar isteri mereka, Kemudian mereka hendak menarik
kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang
budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan
kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (4)
Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua
bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa
(wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi
orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.”
Ayat tersebut
menjelaskan bahwa kifarat bagi seorang suami yang melakukan zihar terhadap
istrinya adalah memerdekakan budak atau puasa dua bulan berturut-turut atau
kalau tidak mampu, maka ia harus memberi makan sebanyak 60 orang miskin. Karena
ayat ini telah dibatasi kemutlaqannya, maka harus diamalkan hukum muqoyyadnya.
3. Hukum mutlaq yang
sudah dibatasi.
Lafal mutlaq jika
telah ditentukan batasannya, maka ia menjadi muqoyyad. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ
لاَ يَبْقَى عَلَى إِطْلَاقِهِ إِذَا يَقُوْمُ دَلِــْيلٌ عَلَى تَقْـِـييْدِهِ.
Terjemah:
“Lafal mutlaq tidak
boleh dinyatakan mut}laq karena telah ada batasan yang membatasinya.”
Contoh: (QS. Al-Nisa’
[4]: 11).
...مِنْ
بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي...
artinya:
“…sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya…”
Kata wasiat pada ayat
ini masih bersifat mut}laq dan tidak ada batasan berapa jumlah
wasiat yang harus dapat dikeluarkan. Kemudian ayat ini dibatasi ketentuannya
oleh hadits yang menyatakan bahwa wasiat yang paling banyak adalah sepertiga
dari jumlah harta warisan yang ada. Dengan demikian, maka hukum mutlaq pada
ayat tersebut dibawa kepada yangmuqoyyad. Sebagaimana hadits Nabi
Muhammad saw.
فَإِنَّ
رَسُوْلَ اللهِ قَالَ اَلثُّــلُثُ وَالثُّــلُثُ كَبِــــيْرٌ (رواه البخــارى
ومســلم)
Terjemah:
“Wasiat itu adalah
sepertiga dan sepertiga itu sudah banyak” (HR. Bukhari dan Muslim)
4. Hukum muqoyyad yang
dihapuskan batasannya.
Lafal muqoyyad jika
dihadapkan pada dalil lain yang menghapus ke-muqoyyadan-nya, maka ia
menjadi mutlaq. Kaidahnya:
اَلْمُـقَــَّيدُ
لاَ يَبْقَى عَلَى تَقْيِــيْدِهِ إِذَا يَقُوْمُ دَلِــْيلٌ عَلَى
إِطْــــلَاقِهِ.
Terjemah:
“Muqoyyad tidak akan
tetap dikatakan muqoyyad jika ada dalil lain yang menunjukkan kemutlaqannya.
Contoh: (QS. Al-Nisa’
[4]: 23).
...
وَرَبَائِبُكُمُ اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ
فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ...
Terjemah:
“…dan anak-anak istrimu
yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu
belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa
kamu mengawininya…”
Ayat tersebut
menjelaskan tentang keharaman menikahi anak tiri. Hal ini disebabkan karena
anak tiri itu “dalam pemeliharaan” dan ibunya “sudah dicampuri”. Keharaman ini
telah dibatasi oleh dua hal tersebut, namun batasan yang kedua tetap dipandang
sebagai batasan yang muqoyyadsedang batasan pertama hanya sekedar
pengikut saja, karena lazimnya anak tiri itu mengikuti ibu atau ayah tirinya.
Bilamana ayah tiri belum mencampuri ibunya dan telah diceraikan, maka anak tiri
tersebut menjadi halal untuk dinikahi, karena batasan muqoyyadnya telah
dihapus sehingga menjadimutlaq kembali.[7]
Pada prinsipnya, para
ulama bersepakat bahwa hukum dari lafalmutlaq itu wajib diamalkan
kemutlaqannya, selama tidak ada dalil yang membatasi kemutlaqannya.
Begitupun dengan lafal-lafal muqoyyad yang berlaku kemuqoyyadannya.
Namun, pada kasus-kasus tertentu, terdapat berbagai dalil syara’ dengan lafal
yang mutlaq disatu tempat, sedang ditempat lain
menunjukkan muqoyyad. Pada permasalahan seperti ini, Hamid Hakim
dalam Muhlish Usman,[8] mengatakan
bahwa ada empat alternatatif kaidah yang dapat digunakan, yaitu:
a)
Hukum dan sebabnya sama, maka yang mutlaq dibawa
kepada muqoyyad. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ
يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ إِذَااتَّفَــقَافِى السَّــبَبِ
وَاْلحُـــــكْمِ.
Terjemah:
“Mutlaq itu dibawa pada
muqoyyad jika sebab dan hukumnya sama.”
Contoh: (QS. Al-Maidah’
[5]: 3).
حُرِّمَتْ
عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ...
Terjemah:
“Diharamkan bagimu
(memakan) bangkai, darah, dan daging babi…”
Pada ayat ini,
kata (الـدم) atau darah
adalah lafal mutlaq yang tidak diikat oleh sifat atau syarat
apapun. Namun pada ayat lain, dalam firman Allah swt. (QS. Al-An’am [6]: 145)
disebutkan:
قُلْ
لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ
يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ
Terjemah:
“Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.”
Dalam ayat ini,
kata الدم, atau darah diberi
sifat dengan masfuh(mengalir). Namun, hukum dalam kedua ayat ini
adalah sama, yaitu sama-sama “haram”. Demikian pula sebab yang menimbulkan hukumnya
juga sama, yaitu “darah”. Oleh karena itu dibawalah yang mutlaq pada
yangmuqoyyad, dalam artian; hukum yang dalam lafal mutlaq harus
dipahami menurut yang berlaku pada lafal muqoyyad. Dengan
demikian, kata “darah” pada lafal mutlaq, harus diartikan dengan
“darah yang mengalir” sebagaimana yang terdapat pada lafal muqoyyad. Dari
kedua ayat tersebut, terlihat jelas bahwa materi dan hukumnya sama, maka selain
darah yang mengalir menjadi halal, misalnya hati atau limpa.
b)
Berbeda sebabnya namun sama hukumnya.
Pada permasalahan ini, jumhur syafi’iyyah menyatakan bahwa yang mut}laq dibawa
pada yang muqoyyad. Sedangkan golongan Hanafiyyah dan Malikiyyah
mayoritas menetapkan bahwa hukum mut}laq dan muqoyyad masing-masing
tetap pada posisinya.
Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ
يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ وَإِنِ اخْتَـــلَفـَـــافِى السَّــبَبِ.
Terjemah:
“Mutlaq itu dibawa ke
muqoyyad jika sebabnya berbeda.”
Contoh: (QS.
Al-Mujadlah [58]: 3) yang menjelaskan bahwa kifarat ziharadalah
“memerdekakan budak” tanpa ada batasan “mukmin” atau tidak. Sementara pada ayat
lain, dijelaskan bahwa bagi orang yang membunuh dengan tidak sengaja, kifaratnya adalah
memerdekakan budak yang mukmin. Sebagaimana firman Allah: (QS. Al-Nisa’ [4]:
92)
...وَمَنْ
قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ...
Terjemah:
“…dan barang siapa
membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang
hamba sahaya yang beriman...”
Kedua ayat diatas
berisi hukum yang sama, yaitu pembebasan budak, sedangkan sebabnya berlainan,
yang pertama karena zihar sementara yang lain karena
pembunuhan tidak sengaja. Al-Syafi’iyyah mengatakan bahwa lafal mutlaq pada kifarat
zihar itu harus dibawa kepada yang muqoyyad tanpa
memerlukan dalil lain dengan argumentasi bahwa Kalamullah itu
satu zatnya, tidak berbilang. Karena itu, jika Allah telah menentukan syarat
“iman” dalam kifarat pembunuhan tidak disengaja, berarti
ketentuan inipun berlaku pula pada kifarat zihar, yaitu membebaskan
budak yang mukmin. Sementara Hanafiyyah dan Malikiyyah mengatakan bahwa kifarat
zihar ialah sembarang budak.[9]
c)
Berbeda hukum namun sama sebabnya,
maka mutlaq dibawa pada muqoyyad. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ
لَا يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ إِذَااخْتَـــلَفـَـــا فِى اْلحُـــــكْمِ.
Terjemah:
“Mutlaq itu tidak
dibawa ke muqoyyad jika yang berbeda hanya hukumnya.”
Contoh: kata “tangan”
dalam perintah wudhu dan tayammum. Membasuh tangan dalam perintah wudhu
dibatasi sampai dengan siku, sebagaimana firman Allah swt, (QS. Al-Maidah [5]:
6).
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا
وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ...
Terjemah:
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku…”
Dalam perintah
tayammum, tidak dijelaskan batasan membasuh tangan, tetapi berlaku mutlaq. Firman
Allah swt, dalam (QS. Al-Nisa’ [4]: 43).
...فَتَيَمَّمُوا
صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ...
Terjemah:
“…maka bertayamumlah
kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu…”
Kedua ayat diatas
mengandung sebab yang sama yaitu membasuh tangan, tetapi hukumnya berbeda yaitu
membasuh tangan sampai mata siku dalam wudhu dan hanya menyapu tangan
secara mutlaq pada tayammum. Dengan demikian, harus diamalkan
secara masing-masing karena tidak saling membatasi.[10]
d)
Berbeda sebab dan hukumnya, maka mutlaq tidak
dibawa pada muqoyyad.Masing-masing berdiri sendiri. Kaidahnya:
اَلْمُـطْلَقُ
لَا يُحْمَـلُ عَلىَ اَلْمُـقَــَّيدِ إِذَااخْتَـــلَفـَـــافِى السَّــبَبِ
وَاْلحُـــــكْمِ.
Terjemah:
“Mutlaq tidak dibawa ke
muqoyyad jika sebab dan hukumnya berbeda.”
Contoh: (QS. Al-Maidah
[5]: 6) tentang perintah wudhu. Pada ayat tersebut kata “tangan” disebutkan
dengan batasan yaitu sampai siku. Sementara pada ayat lain yang menjelaskan
tentang hukuman potong tangan bagi pencuri yang berlaku mutlaq tanpa
menyebutkan batasan. Firman Allah swt, dalam (QS. Al-Maidah [5]: 38)
وَالسَّارِقُ
وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا...
Terjemah:
“Laki-laki yang mencuri
dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya …”
Kedua ayat diatas memiliki sebab dan hukum yang
berbeda. Ayat pertama menyebutkan keharusan mencuci tangan secara muqoyyad sampai
siku dalam masalah wudhu untuk melakukan shalat. Sementara ayat kedua
menyebutkan keharusan memotong tangan secara mutlaq dalam
sanksi hukum terhadap pencuri. Dalam hal ini, ulama bersepakat bahwa kedua ayat
ini berlaku sendiri-sendiri, lafal yang mutlaq tetap
pada kemutlaqannya, sementara yang muqoyyad, tetap
pada kemuqoyadannya.[11]
C.
Pengertian Mujmal Dan Mubayyan
1.
Mujmal
Secara
bahasa berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Secara istilah berarti: lafadz
yang maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan salah satu
maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya.
a)
Contoh: lafadz yang masih
memerlukan lainnya untuk menentukan maknanya:
kata ” rapat ” dalam
bahasa Indonesia misalnya memiliki dua makna: perkumpulan dan tidak ada celah.
Sedangkan dalam al Qur’an misalnya surat al Baqarah: 228
kata ” قروء
” dalam ayat ini bisa berarti : suci atau haidh. Sehingga untuk menentukan
maknanya membutuhkan dalil lain.
b)
contoh: lafadz yang membutuhkan
lainnya dalam menjelaskan tatacaranya.
Surat An Nur: 56
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ﴿النور: ٥٦﴾
Kata “ mendirikan
shalat” dalam ayat di atas masih mujmal/belum jelas karena tidak diketahui
tatacaranya, maka butuh dalil lainnya untuk memahami tatacaranya. Begitu
pula ayat- ayat haji dan puasa
c)
contoh lafadz yang membutuhkan lainnya
dalam menjelaskan ukurannya.
Surat an nur : 56 di
atas. Kata ” menunaikan zakat ” dalam ayat di atas masih mujmal karena belum
diketahui ukurannya sehingga untuk memahaminya masih
diperlukan dalil lainnya.[12]
B. Mubayyan
Mubayyan secara bahasa
(etimologi) : (المظهر والموضح) yang ditampakkan dan yang
dijelaskan. Sedangkan secara terminologi Mubayyan adalah seperti yang
didefinisikan oleh al-Asnawi sebagai berikut :
“Mubayyan
adalah lafaz yang jelas (maknanya) dengan
sendirinya atau dengan lafaz lainya”.
Ada yang mendifinisikan
Mubayyan sebagai berikut:
ما يفهم المراد منه، إما
بأصل الوضع أو بعد التبيين
“Apa yang dapat
difahami maksudnya, baik dengan asal peletakannya atau setelah
adanya penjelasan.”
Contoh yang dapat
difahami maksudnya dengan asal peletakannya : lafadz langit (سماء), bumi (أرض),
gunung (جبل), adil (عدل), dholim (ظلم), jujur (صدق). Maka kata-kata ini dan
yang semisalnya dapat difahami dengan asal peletakannya, dan tidak membutuhkan
dalil yang lain dalam menjelaskan maknanya.
Contoh yang dapat difahami
maksudnya setelah adanya penjelasan Firman Allah ta’ala :
اقيمو
الصلاة وَآتُوا الزَّكَاةَ
“Dan dirikanlah sholat
dan tunaikan zakat” (Al-Baqoroh : 43)
Maka
mendirikan sholat dan menunaikan zakat, keduanya
adalah mujmal, tetapi pembuat syari’at (Allah ta’ala)
telah menjelaskannya, maka lafadz keduanya
menjadi jelas setelah adanya penjelasan.
Dalam
hubungannya dengan Mubayyan , maka dapat kita pahami ada tiga hal disini.
Pertama adanya lafaz yang mujmal yang memerlukan penjelasan atau disebut
Mubayan (yang dijelaskan). Kedua ada lafaz lain yang menjelaskan lafaz yang
Mujmal tadi atau disebut Mubayyan (yang menjelaskan. Dan yang ketiga adanya
penjelasana atau disebut Bayan.
C. Macam-Macam
Bayyan ( Penjelasan )
Dalam
pembahasan selanjutnya, para Ulama Ushul membuat kategori daripada penjelasan
atau Bayan tersebut. Ulama Syafiiyah membagi bayan kepada 7 macam sebagai
berikut :
1. Penjelasan
dengan perkataan ,
contohnya, Allah SWT
menjelaskan lafaz سبعة ( tujuh ) pada surat al-Baqarah ayat 196, tentang jumlah
hari puasa bagi yang tidak mampu membayar dam (hadyu) pada haji Tamattu’. Dalam
bahasa Arab lafaz tujuh sering ditujukan kepada arti ‘banyak’ yang bisa lebih
dari tujuh. Untuk menjelaskan ‘tujuh’ itu betul-betul tujuh maka Allah SWT
mengiringi dengan firman-Nya “itu sepuluh hari yang sempurna”.
2. Penjelasan
dengan mafhum perkataan,
contohnya, firman Allah
SWT dalam surat al-Isra’ ayat 23, tentang larangan mengatakan اف”ah” kepada
kedua orang tua. Mafhum dari ayat tersebut adalah melarang seseorang anak
menyakiti orang tuanya, seperti memukul dan lain-lain, karena mengucapkan “ah”
saja tidak boleh, apalagi memukul.
3. Penjelasan
dengan perbuatan,
contoh. Rasulullah SAW
menjelaskan perintah mendirikan shalat, dalam ayat al-Quran, lalu Rasulullah
SAW mencontohkan cara melakukan shalat tersebut.
4. Penjelasan
dengan Iqrar “pengakuan”
contohnya, Rasulullah
melihat Qayis shalat dua raka’at sesudah shalat Subuh, maka Rasulullah bertanya
kepada Qayis, lalu Qayis menjawab dua raka’at itu adalah shalat sunat fajar.
Rasulullah tidak melarang. Ini menunjukkan dibolehkan shalat sunat sesudah
shalat Subuh.
5. Penjelasan
dengan Isyarat,
contohnya penjelasan
Rasulullah SAW tentang jumlah hari dalam satu bulan. Beliau mengangkat
kesepuluh jarinya tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian mengulanginya sambil
membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Maksdunya bahwa bulan itu
kadang-kadang 30 hari atau kadang-kadang 29 hari.
6. Penjelasan
dengan tulisan,
contohnya Rasulullah
SAW menyuruh juru tulis beliau menuliskan hukum-hukum mengenai pembagian harta
warisan dan lain-lain.
7. Penjelasan
dengan qiyas,
contohnya Rasulullah
SAW menjawab seorang penanya melakukan haji untuk ibunya yang sudah meninggal.
Rasullullah bertanya, ‘bagaimana kalau ibumu punya hutang, apa kamu bisa
membayarnya?. Hadits tersebut menqiyaskan mengganti haji orang tua dengan
membayar hutangnya.[13]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Kata mutlaq secara
sederhana berarti tiada terbatas. Dalam bahasa Arab, kataمـطـلـــق berarti
yang bebas, tidak terikat. Secara sederhana, muqoyyadberarti
terikat, atau yang mengikat, yang membatasi. Secara etimologi,muqoyyad adalah
suatu lafal yang menunjukkan suatu hal, barang atau orang yang tidak
tertentu (syai’ah) tanpa ada ikatan (batasan) yang tersendiri
berupa perkataan.
2. Mujmal
Secara bahasa berarti samar-samar dan beragam/majemuk. Secara istilah berarti:
lafadz yang maknanya tergantung pada lainnya, baik dalam menentukan salah satu
maknanya atau menjelaskan tatacaranya, atau menjelaskan ukurannya. Mubayyan
secara bahasa (etimologi) : (المظهر والموضح) yang ditampakkan dan
yang dijelaskan.
B.
Saran
DAFTAR
PUSTAKA
Tim Redaksi Bahasa
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat
Bahasa, 2008
Ahmad Warson
Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia.Surabaya:
Pustaka Progressif,
1997
Syekh Muhammad
Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqih, Pekalongan: Raja Murah,1982
Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009
Departemen Agama
RI, Al-Qur’an dan terjemahan, Jakarta: CV. Naladana, 2004
Satria Effendi M.
Zein, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2008
Usman, Kaidah-kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyyah, Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1996.
Sapiuddin Shidiq, Ushul
Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011
Shidiq, Ushul
Fiqh, Jakarta: Kencana, 2011.
Hanafie, Ushul
Fiqh, Cet. VII. Jakarta: Widjaya, 1980
http://zulfa4wliya.wordpress.com/2009/05/06/mujmal-dan-mubayyan/
Prof.DR.Abdul Wahhab
Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, tahun 1998
[1] Syekh
Muhammad Al-Khudhori Biek, Ushul Fiqih, (Pekalongan: Raja
Murah, 1982), 239.
[2] Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2009), 121-122.
[3] Satria
Effendi M. Zein, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2008), 206.
[4] Usman, Kaidah-kaidah
Ushuliyah dan Fiqhiyyah, 57.
[5] Sapiuddin
Shidiq, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2011), 187
[6] Shidiq, Ushul
Fiqh, 186-192
[7] Shidiq, Ushul
Fiqh, 189.
[8] Usman, Kaidah-kaidah
Ushuliyah, 59-61.
[9] Hanafie, Ushul
Fiqh, 77.
[10] Shidiq, Ushul
Fiqh, 191.
[11] Syarifuddin, Ushul
Fiqh, 128.
[12] http://zulfa4wliya.wordpress.com/2009/05/06/mujmal-dan-mubayyan/
[13] Abdul
Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum
Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar