Sabtu, 13 Juni 2015

MAKALAH TATA HUKUM INDONESIA

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Pengantar tata hukum Indonesia mempelajari hukum yang saat ini sedang berlaku, dengan kata lain obyek dari pengantar tata hukum Indonesia adalah hukum positif/ius constitutum. Fungsi pengantar hukum Indonesia mengantarkan setiap orang yang akan mempelajari hukum positif Indonesia. Pengantar tata hukum Indonesia mempelajari hukum yang saat ini sedang berlaku, dengan kata lain obyek dari pengantar tata hukum Indonesia adalah hukum positif/ius constitutum. Fungsi pengantar hukum Indonesia mengantarkan setiap orang yang akan mempelajari hukum positif Indonesia.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian pengantar tata hukum Indonesia itu sendiri ?
2.      Bagaimana sejarah tata hukum indonesia ?
3.      Apa tujuan mempelajari pengantar tata hukum indonesi ?













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tata Hukum indonesi
Setiap bangsa di dunia mempunyai hukumnya sendiri-sendiri yang berbeda dengan hukum bangsa lain. Seperti bahasa yang mempunyai tata bahasa, maka hukumpun mempunyai tata hukum, dimana setiap orang dapat mempelajari dan mengetahui isi hukum itu.
Kata “tata” menurut kamus bahasa Indonesia berarti aturan, kaidah aturan, susunan, cara menyusun, sistem. Tata hukum berarti peraturan dan cara atau tata tertib hukum disuatu negara. Atau lebih dikenal dengan tatanan. Tata hukum atau susunan hukum adalah hukum yang berlaku pada waktu tertentu dalam suatu wilayah negara tertentu yang disebut hukum positif, dalam bahasa latinnya: Ius Constitutum lawannya adalah Ius Constituendum atau hukum yang dicita-citakan/hukum yang belum membawa akibat hukum. Dalam kaitannya di Indonesia, yang ditata itu adalah hukum positif yang berlaku di Indonesia. Hukum yang sedang berlaku artinya apabila ketentuan-ketentuan hukum itu dilanggar maka bagi si pelanggar akan dikenakan sanksi yang datangnya dari badan atau lembaga yang berwenang.
Pengertian Tata Hukum di Indonesia merupakan suatu cabang ilmu pengetahuan hukum, disamping pengantar ilmu hukum, karena baik Pengantar Tata Hukum Indonesia maupun Pengantar Ilmu Hukum masing-masing mempunyai obyek penyelidikan sendiri. Objek Pengantar Tata Hukum Indonesia itu adalah hukum positif Indonesia (hukum positif/Ius Constitutum). Sedang Pengantar Ilmu Hukum, menyelidiki hukum tidak terbatas pada hukum yang berlaku di tempat atau negara lain pada waktu dan kapan saja. Dengan demikian penyelidikannya tidak terlepas pada Ius Constitutum saja, melainkan juga menyelidiki Ius Constituendumnya
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Pengantar Ilmu Hukum merupakan dasar atau basic dari Pengantar Tata Hukum Indonesia. Dengan demikian jelas, maka Tata Hukum Indonesia itu menata, menyusun, mengatur tertib kehidupan masyarakat Indonesia. Tata Hukum Indonesia diterapkan oleh masyarakat hukum Indonesia (Negara Republik Indonesia). Tata Hukum Indonesia adanya sejak saat Proklamasi Kemerdekaan, yaitu tanggal 17 Agustus 1945, sebab dengan Proklamasi Kemerdekaan berarti:
1.      Negara Republik Indonesia dibentuk oleh bangsa Indonesia.
2.      Sejak saat itu pula Bangsa Indonesia telah mengambil keputusan menentukan dan melaksanakan hukumnya sendiri, yaitu hukum Bangsa Indonesia dengan hukumnya yang baru, tata hukum Indonesia.
Tata Hukum di Indonesia” itu ialah “Hukum yang sekarang berlaku di Indonesia”, berlaku berarti yang memberi akibat hukum kepada peristiwa-peristiwa dalam pergaulan hidup; sekarang menunjukkan kepada pergaulan hidup pada saat ini, dan tidak pada pergaulan hidup yang telah lampau, pula tidak pada pergaulan hidup masa yang kita cita-citakan di kemudian hari; di Indonesia menunjukkan kepada pergaulan hidup yang terdapat di Republik Indonesia dan tidak di Negara lain. Selanjutnya beliau menyatakan bahwa hukum positif disebut juga ius constitutum sebagai lawan dari ius constituendum, yakni kaidah hukum yang dicita-citakan.[1]
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Kusumadi Pudjosewojo mengatakan bahwa “Tiap-tiap bangsa mempunyai tatahukumnya sendiri. Bangsa Indonesiapun mempunyai tata hukumnya sendiri, tata hukum  Indonesia.  Siapa yang mempelajari tata hukum Indonesia, maksudnya terutama ialah ingin mengetahui, perbuatan atau tindakan manakah yang menurut hukum, dan yang manakah yang melawan hukum, bagaimanakah kedudukan seseorang dalam masyarakat, apakah kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenangnya, semua itu menurut hukum Indonesia. Dengan  pendek kata ia ingin mengetahui hukum yang berlaku sekarang ini di dalam negara kesatuan  Republik Indonesia”[2]
B.     Sejarah Tata Hukum Di Indonesia
Tata hukum Indonesia adalah tata hukum yang ditetapkan oleh Bangsa Indonesia sendiri atau oleh negara sendiri. Adanya Tata Hukum Indonesia juga sejak saat adanya Negara Indonesia yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945, dimana Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamirkan.
Dengan adanya proklamasi tersebut, sejak saat itu Bangsa Indonesia telah mengambil keputusan untuk melaksanakan dan menentukan hukumnya sendiri, yaitu dengan tata hukumnya yang baru yakni Tata Hukum Indonesia. Hal itu dinyatakan dalam:
1.      Proklamasi Kemerdekaan: “Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”.
2.      Pembukaan UUD 1945: “atas berkat rahmat Alloh yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”.
“Kemudian daripada itu disusunlah Kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia”.
Pernyataan tersebut  mengandung arti:
1.      Menjadikan Indonesia suatu negara yang merdeka dan berdaulat
2.      Pada saat itu juga menetapkan tata hukum Indonesia, sekedar mengenai bagian yang tertulis. Di dalam UUD Negara itulah tertulis tata hukum Indonesia (yang tertulis).
Lahirnya tata hukum Indonesia dipertegas pula dalam Memorandum DPRGR tanggal 9 Juni 1966, antara lain menyatakan bahwa:
“Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 17 Agustus 1945, adalah detik penjebolan tata tertib hukum kolonial dan sekaligus detik pembangunan tertib hukum nasional, tertib hukum Indonesia dan seterusnya”.
Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa dengan Proklamasi itu berarti: pertama, menegarakan Indonesia, menjadi suatu negara, kedua, pada saat itu juga menetapkan Tata Hukum Indonesia. Dengan kata lain dapat dikemukakan bahwa tata Hukum Indonesia berpokok pangkal kepada Proklamasi. Guna kesempurnaan negara dan Tata Hukumnya, maka pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI ditetapkan dan disahkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945.
UUD 1945 hanyalah memuat ketentuan-ketentuan dasar dari Tata Hukum Indonesia. Masih banyak ketentuan-ketentuan yang perlu diselenggarakan lebih lanjut dalam pelbagai Undang-Undang Organik. Karena sampai sekarang ini  belum banyak Undang-Undang Organik seperti dimaksud diatas, maka  melalui ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 diperlakukan banyak peraturan-peraturan yang berasal dari Hindia Belanda. 
Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, UUD 1945 mengalami pasang surut. Pada tanggal 17 Agustus 1950, Undang-Undang Dasar 1945  dinyatakan tidak berlaku, tetapi tanggal 5 Juli 1959 dengan adanya dekrit Presiden, Undang-Undang Dasar tersebut diberlakukan kembali. Sejalan dengan perkembangan ketatanegaraan Bangsa Indonesia, perkembangan perundang-undangan sejak berdirinya Negara Republik Indonesia  juga mengalami pasang surut, hal ini dapat dilihat dari periodisasi sebagai berikut:
1.      Masa UUD 1945. ke-1 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949)
2.      Masa Konstitusi RIS (27 Desember 1949-17 Agustus 1950)
3.      Masa UUDS 1950 (15 Agustus 1950-5 Juli 1959)
4.      Masa UUD 1945, ke-2 (5 Juli 1959-sekarang)[4]
5.      Masa Amandemen UUD 1945:
a.       Amandemen Pertama disahkan 19 Oktober 1999
b.      Amandemen Kedua disahkan 18 Agustus 2000
c.       Amandemen Ketiga disahkan 10 November 2001
d.      Amandemen Keempat disahkan 10 Agustus 2002[5]
e.       Politik Hukum Nasional
Pemakaian kata “politik”  dalam Politik hukum Nasional menurut Hartono Hadisoeprapto[3], berarti kebijaksanaan (policy) dari penguasa Negara Republik Indonesia mengenai hukum yang berlaku di Negara Indonesia. Hal ini sesuai dengan pendapat Teuku Mehammad Radhie yang mengatakan: “Adapun politik hukum disini hendak kita artikan sebagai pernyataan kehendak Penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku diwilayahnya dan mengenai arah kemana hukum hendak diperkembangkan.”[4]   
Mengenai politik hukum nasional, tertuang dalam:
1.      Pasal 102 UUDS  1950 yang berbunyi:
“ Hukum perdata dan dagang, hukum pidana sipil maupun hukum pidana militer, hukum acara perdata dan hukum acara pidana, susunan dan kekuasaan pengadilan, diatur dengan undang-undang dalam kitab-kitab hukum, kecuali jika pengundang-undangan menganggap perlu untuk mengatur beberapa hal dalam undang-undang tersendiri.” 
      Dari Pasal 102 UUDS 1950 dapat ditarik kesimpulan bahwa Negara Republik Indonesia menghendaki di kodifikasikannya lapangan-lapangan hukum tersebut, sehingga dikenal pula bahwa Pasal 102 UUDS 1950 sebagai pasal kodifikasi.
2.      Undang-Undang Dasar 1945
Walaupun dalam UUD 1945 tidak menentukan adanya politik hukum secara jelas, akan tetapi  apabila diteliti secara mendalam, dalam Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 dapat diartikan menentukan adanya politik hukum meskipun sifatnya sementara saja. Dengan perantaraan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, memberi dasar hukum untuk berlakunya politik hukum Hindia Belanda, sekedar untuk mengisi kekosongan hukum dan tidak bertentangan dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945.   
3.      Baru pada Tahun 1973 ditetapkan ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 tentang garis-garis besar haluan negara yang didalamnya secara resmi digariskan adanya politik hukum nasional Indonesia sebagai berikut:
a.       Pembangunan dibidang hukum dalam negara hukum Indonesia adalah berdasarkan atas landasan sumber tertib hukum yaitu cita-cita yang terkandung pada pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak dari bangsa Indonsia yang di dapat dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
b.      Pembinaan bidang hukum harus mampu mengendalikan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai kesadaran hukum rakyat yang berkembang kearah modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh, dilakukan dengan:
ü  Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional dengan antara lain mengadakan pembaharuan, modifikasi serta unifikasi hukum dibidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.
ü  Menerbitkan fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinya masing-masing.
ü  Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum.
c.       Memupuk kesadaran hukum dalam masyarakat dan membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah kearah penegak hukum, keadilan serta perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dan keterlibatan serta kepastian hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar1945.
Politik hukum Indonesia yang dirumuskan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara setiap lima tahun sekali berganti arah kebijakan, tentunya apabila dilaksanakan dengan baik, akan mengejar ketinggalan dalam bidang pembinaan dan penegakan hukum di Indonesia.
C.    Tujuan Mempelajari Tata Hukum Indonesia
Secara sederhana dapat disampaikan tentang tujuan dari belajar hukum itu adalah:
1.      Ingin mengetahui peraturan-peraturan hukum yang berlaku saat ini di suatu wilayah negara  atau hukum positif atau Ius Constitutum
2.      Ingin mengetahui perbuatan-perbuatan mana yang menurut hukum dan perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum.
3.      Ingin mengetahui kedudukan seseorang dalam masyarakat atau hak dan kewajibannya.
4.      Ingin mengetahui saksi-saksi apa yang diderita oleh seseorang bila orang tersebut melanggar peraturan yang berlaku.
Samidjo, mengatakan tujuan mempelajari tata hukum Indonesia adalah mempelajari hukum yang mencakup seluruh lapangan hukum yang berlaku di Indonesia, baik itu hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis.[5]















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengantar tata hukum Indonesia adalah suatu sistem pengetahuan yang mempelajari tentang hukum-hukum terdapat di Indonesia, sehingga kita dapat mengenal tentang hukum di Indonesia. Makalah ini dimaksudkan agar kita mempelajari tentang hukum secara singkat tapi dapat dipahami dengan mudah.













                                                        





DAFTAR PUSTAKA
Soediman Kartohadiprodjo. Pengantar Tata Hukum di Indonesia. Jakarta: Pemangunan. 1965.
Sanusi Achmad. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Bandung: Tarsito. 1984
Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, Bandung: Armico, 1985
Mohammad Radhie, PRISMA No.6 Tahun Ke-11. 1973
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1991





[1] Soediman Kartohadiprodjo. 1965. Pengantar Tata Hukum di Indonesia. Pembangunan. Jakarta. hlm. 39.
[2] Achmad Sanusi. 1984. Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia. Tarsito. Bandung. hlm. 4.
[3] Samidjo, Pengantar Hukum Indonesia, (Bandung: Armico, 1985), hlm. 16
[4] Mohammad Radhie, PRISMA No.6 Tahun Ke-11. (1973), hlm. 4
[5] Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 39.

Jumat, 12 Juni 2015

MAKALAH TASAWUF IRFANI

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan terbuai dalam dinamika modernitas, yang dibarengi dengan akselerasi-akselerasi sains dan teknologi canggih. Keadaan ini membuat manusia lengah sehingga demensi spiritualnya lambat laun terkikis. Kita sering menyaksikan tercerabutnya akar spriritualitas di panggung kehidupan. Salah satu penyebabnya adalah pola hidup global yang dilayani oleh perangkat teknologi yang serba canggih.
Dalam konteks Islam, untuk mengatasi keterasingan dan kekosongan spiritualitas dan sekaligus membebaskan dari derita alienasi (dalam bahasa sosiolog, berarti keterasingan) adalah dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan akhir (ultimate goal) dan kembali, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha Memiliki dan Maha Absolut. Keyakinan dan perasaan seperti inilah yang akan memberikan kekuatan, kendali dan kedamaian jiwa seseorang sehingga ia merasa senantiasa berada dalam “orbit” Tuhan.

B.       Rumusan Masalah
       Berdasarkan latarbelakang di atas, maka masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1.      Apa pengertian tasawuf irfani?
2.      Siapa tokoh dan pemikirannya dalam paham tasawuf irfani?

C.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan masalah di atas, maka tujuan ditulisnya makalah ini adalah:
1.    Mengetahui pengertian tasawuf irfani.
2.    Mengetahui tokoh-tokoh dan paham dari aliran tasawuf irfani.

D.      Metode Penulisan
       Dalam penyusunan makalah ini metode penulisan yang kami gunakan adalah metode kepustakaan, dengan mencari bahan-bahan materi dari berbagai sumber, baik media cetak ataupun dari kajian-kajian Islam multi media.


BAB II
 PEMBAHASAN

A.    Pengertian Tasawuf Irfani
Secara etimologis, kata irfan merupakan kata jadian (masdhar) dari kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan). Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentifikasikan dengan ma’rifat sufistik. Orang yang ‘irfat/ makrifat kepada Allah adalah yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf (ketersingkapan). Ahli ‘irfan adalah yang bermakrifat kepada Allah. Terkadang kata itu diidentifikasikan dengan sifat-sifat inheren tertentu yang tampak pada diri seorang ‘arif (yang bermakrifat kemada Allah), dan menjadi hal baginya. Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi berkata, ‘Arif adalah seseorang yang memperoleh penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi hati tertentu (ahwal). ‘Irfan diperoleh seseorang melalui jalan al-idrak al-mubasyir al-wudjani (penangkapan langsung secara emosional), bukan penagkapan langsung secara rasional. Pembicaraan tentang ‘irfan atau makrifat dikalangan sufi dimulai sekitar abad III dan IV H. Tokoh sufi yang sangat menonjol membicarakannya adalah Dzu An-Nun Al-Mishri (w. 245 H/859M). Sementara Al-Ghazali diposisikan sebagai tokoh sufi yang pertama kali mendalaminya secara intens.
Sebagai sebuah ilmu, ‘irfan memiliki dua aspek yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek praktisnya adalah bagian menjelaskan hubungan dan penaggungjwaban manusia terhadap dirinya, dunia dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai etika. Bagian praktis ini juga di sebut syar wa suluk (perjalanan rohani). Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang penempuh rohani (salik) yang ingin mencapai tujuan puncak kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan, menempuh tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya secara berturutan, dan keadaan jiwa (hal) yang bakal dialami sepanjang perjalanannya tersebut.
Sementara itu, ‘irfan teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan manusia, serta Tuhan alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai teosofi (falsafah Illahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud. Seperti halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan problemnya. Namun, jika filsafat hanya mendasarkan argumennya pada prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.
Di samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.

B.     Tokoh-tokoh Sufi yang Termasuk dalam Aliran Tasawuf Irfani
            Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, diantaranya sebagai berikut:
1.      Rabi’ah Al-Adawiyah
Ø Biografi Singkat Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabi’ah yang bernama lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah, diperkirakan lahir tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di sebuah perkampungan di dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia putri keempat, orang tua menamakannya Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan di jual kepada keluarga atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini, ia di kenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyyah. Pada keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Al-Adawiyyah dan menerangi seluruh ruangan rumah saat ia beribadah.
Setelah dimerdekakan oleh tuannya, Rabi’ah pergi hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan beribadah untuk mendekatan diri kepada Allah sekaligus kekasihnya. Ia memperbanyak taubat dan menjauhi kehidupan duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan kepadanya. Bahkan dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
Pendapat ini ternyata dipersoalkan oleh Badawi. Rabi’ah menurutnya, sebelum bertobat pernah menjalani kehidupan duniawi . untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Rabi’ah tidak mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan yang digunakan Badawi untuk menguatkan pendapatnya adalah intensitas tobat Rabi’ah itu sendiri. Menurut Badawi, tidak mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu ekstremnya, kecuali ia pernah sedemikian jauh dalam menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.
Ø Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabi’ah Al-‘Adawiyyah tercatat dalam perkembangan mistisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan penharagaan kepada Allah. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Sikap dan pandangan Rabi’ah ‘Al-Adawiyyah tentag cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa katika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akan Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu?” Tiba-tiba terdengar suara, ”Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada Kami.”
2.      Dzu An-Nun Al-Mishri
Ø Biografi Singkat Dzu An-Nun Al-Mishri
Dzu An-Nun Al-Mishri adalah nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al- Faidh Tsauban bin Ibrahim. Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/ 796M. dan meninggal pada tahun 246H/856M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Di antaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam keadaan selamat di sungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula Al-Mishri tidak banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak diutarakan. Al-Mishri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis, Baghdad, Mekah, Hijaz, Syria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan Lembah kan’an. Hal ini menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu hadis, dan guru sufi, sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayat hadis dari Malik, Al-Laits, dan lain-lainnya. Adapun yang pernah mengambil riwayat darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy. Gurunya dalam bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghribiy. Ini yang menjadikan ia seorang alim, baik dalam ilmu syariat maupun tasawuf.
Sebelum Al-Mishri, sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia adalah orang pertama yang memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia pun merupakan orang pertama di Mesir yang membicarakan tentang Ahwal dan Maqamat para wali dan orang yang pertama memberi definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
Pendapat tersebut cukup beralasan mengingat Al-Mishri hidup pada awal pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk menyatakan pendapatnya. Keberaniannya menyebabkan ia harus berhadapan dengan gelombang protes yang disertai dengan tuduhan zindiq. Akibatnya, ia pernah di panggil menghadap Khalifah Al-Mutawakkil. Namun, ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui secara umum tatkala ia meninggalkan dunia yang fana ini.
Ø Ajaran-ajaran Tasawuf Dzu An-Nun Al-Mishri
·         Makrifat
Al-Mishri adalah pelopor paham makrifat. Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat Al-Qathi dan Al-Mas’udi yang kemudian dianalisis Nicholson dan Abd Al-Qadir dalam falsafah As-Sufiah fi Al-Islam, Al-Mishri berhasil memperkenalkan corak baru tentang makrifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama, ia membedakan “makrifat sufiah” dengan “makrifat aqliyah”. Bila yang pertama menggunakan pendapat qalb yang biasa digunakan para sufi, yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan para teolog. Kedua, menurut Al-Mishri, makrifat sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab makrifat merupakan fitrah dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori makrifat Al-Mishri menyerupai gnosisme ala-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian di anggapa sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad.
Pandangan-pandangan Al-Mishri tentang makrifat pada umumnya sulit di terima kalangan teolog sehingga di anggap sebagai seorang zindiq. Karena itu pula, di tangkap Khalifah kemudian dibebaskan. Berikut beberapa pandangannya tentang makrifat:
ü Sesungguhnya makrifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazar milik para hakim, mutakalimin dan ahli balaghah, tetapi makrifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimilki para ahli Allah. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan untuk hamba-hamban-Nya yang lain.
ü Makrifat yang sebanarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang murni seperti matahari tak dapat di lihat kecuali dengan cahayanya. Senantiasa seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam kekuasaan-Nya, mereka merasa berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah mereka, mereka melihat demgan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan perbuatan Allah.
Kedua pandangan Al-Mishri di atas menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah tidak dapat di tempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan makrifat batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahanterangkat ke atas dan selanjutnya menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan, samapai akhirnya, ia sepenuhnya di dalam-Nya dan lewat diri-Nya.
Al-Mishri membagi pengetahuan tentang Tuhan (makrifat) menjadi tiga macam, yaitu:
1.      Pengetahuan untuk seluruh Muslim
2.      Pengetahuan khusus untuk filosof dan ulama dan
3.      Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.
·         Maqamat dan Ahwal
Pandangan Al-Mishri tentang maqamat, dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah, ash-shabr, at-tawakal dan ar-ridha. Dalam Dairat Al-Ma’rifat Al-Islamiyyat terdapat keterangan berasala dari Al-Mishri yang menjelaskan bahwa simbol-simbol zuhud itu adalah sedikit cita-cita, mencintai kekafiran, dan memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa jumlah maqam yang di sebut Al-Mishri lebih sedikit dibandingkan dengan apa yang dikemukakan sejumlah penulis sesudahnya.
Menurut Al-Mishri, ada dua macam taubat, yaitu taubat awam dan taubat khawas. Orang awam bertaubat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan). Dalam ungkapan lain, ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang di anggap sebagai kebaikan oleh al-abrar di anggap sebagai dosa al-muqqarabin. Pandang ini mirip dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat adalah “engkau melupakan dosamu”. Pada tahap ini orang-orang yang mendambakan hakikat tidak lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju kepada kebesaran Tuhan dan dzikir yang berkesinambungan.
Keterangan Al-Mishri tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk kepingan dialog dari sebuah riwayat. Suatu ketika ia menjenguk orang yang sakit. Ketika orang sakit itu merintih, Al-Mishri berkata, “Tidak termasuk cinta yang benar orang yang tidak sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan”. Orang sakit itu kemudian menimpali, “Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”
Berikut ini merupakan sebuah contoh ucapan Al-Mishri selagi kedua tangan dan haknya di belenggu sambil di bawa ke hadapan penguasa dengan disaksikan oleh orang banyak. Ia berkata , “Ini adalah salah satu pemberian  Tuhan dan karunia-Nya. Semua perbuatan Tuhan  merupakan nikmat dan kebaikan.
Berkenaan dengan maqam at-tawakal, Al-Mishri mendefinisikannya sebagai berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya adalah penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki kekuatan.
Ketika di tanya tentang ar-ridha, Al-Mishri menjawab bahwa ar-ridha adalah kegembiraan hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Al-Qanad, yakni ar-ridha adalah ketenangan hati dengan berlakunya ketentuan Tuhan. Kedua pendapat ini pada dasarnya menunjukkan makna yang sama. Perbedaanya hanya terletak pada pemilihan kata Al-Mishri memilih kata surur al-qalb untuk ketenangan hati, sedangkan Al-Qanad memilih kata sukun al-qalb.
Berkenaan dengan ahwal, Al-Mishri menjadikan mahabbah “cinta kepada Tuhan” sebagai urutan pertama dari empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, tanda-tanda orang yang mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad saw, dalam hal akhlak, perbuatan, segala perintah dan sunnahnya.

3.      Al-Junaidi al-Baghdadi
Ø Biografi Al-Junaidi al-Baghdadi
Abu AI-Qasim Al-Junayd bin Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia, yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn Al-Junayd. Ia adalah murid dari Sirri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.
Al-Junaidi pertama kali memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Sari Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan Al-Junaidi, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan baik. Dan ia meninggal tahun 297 H / 298 M. dan dianggap sebagai perintis dari tasawuf yang bercorak ortodoks.
Ø Ajaran-ajaran Tasawuf Al-Junaidi al-Baghdadi
Sebelum ajaran tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi, terdapat Pandangan-pandangan para sufi cukup radikal, memancing para yuris (fukaha) atau ahli fikih untuk mengambil sikap. Sehingga muncul pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli fikih. Ahli fikih memandang pelaku tasawuf sebagai orang-orang zindik, yang mengaku Islam tapi tidak pernah menjalankan syariatnya. Hal ini karena, banyak pelaku tasawuf yang secara lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syari’at. Sebaliknya, tokoh zuhud-tasawuf memandang tokoh-tokoh fikih sebagai orang-orang yang hanya memperhatikan legalitas suatu persoalan, banyak penyelewengan dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang sebenarnya dilarang.
Dari adanya hal itu, Al-Junayd al-Baghdadi memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Junayd,  tasawuf adalah pengabdian kepada Allah dengan penuh kesucian. Oleh karena itu, barang siapa yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah, maka ia adalah sufi.
Karena penekanan pada aspek amaliah inilah, maka tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi terkesan berusaha menciptakan keseimbangan antara syari’at dan hakikat. Ini merupakan kecenderungan yang berbeda sama sekali dengan tasawuf yang berorientasi pada pemikiran atau falsafah. syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat akan tertolak, demikian pula hakikat yang tidak diperkuat dengan syari’at juga akan tertolak. Syari’at datang dengan taklif kepada makhluk sedangkan hakikat muncul dari pengembaraan kepada yang Haq (Allah). Hal itu berarti kedekatan kepada Allah dapat dicapai manakala orang telah melaksanakan amaliah lahiriah berupa syari’at dan kemudian dilanjutkan dengan amaliah batiniah berupa hakikat.
Al-Junayd dikenal pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap persoalan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan pada Al Quran dan Hadits.



Hal itu dapat dilihat pada pemikirannya yang disesuaikan dengan firman Allah:
Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Dimana, pada umumnya orang memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya sendiri pun terkadang ia tidak  terlalu peduli.
Karena diakuiatau tidak bahwasanya Tasawuf sebenarnya telah ada sejak Rasulullah, akan tetapi Rasulullah tidak secara langsung meneyebutkannya dengan tasawuf secara gamlang. Hal itu dapat terlihat dari pola hidup serta tata cara beliau dalam segala bentuk hidupnya yang menampilkan dengan penuh kesederhanaan. Namun pada perkembangan selanjutnya tasawwuf mengalami kemajuan yang dikembangkan oleh masing-masing tokoh tasawuf  dengan model masing-masing.
Begituhalnya mengenai masalah hulul dan ittihad yang tetap melandasinya dengan apa yang terdapat didalam ajaran al-Qur’an dan hadis. Artinya tasawuf  Junaid  al-Baghdady ini tetap memandang bahwa pentingnya syariat demi mencapai akhirat. Dimana, ajaran tasawuf al-Junaid ini sama dengan ajaran tasawuf Al-Muhibbi yang memberi tekanan besar pada disiplin diri  atau lebih sepesifik pada disiplin kalbu. Ia memperjelas antara  orientasi ukrawi dan moralitas.
Dari ajaran tasawuf  Al-Junaidi al-Baghdadi ini sangat jelas bahwasanya, orang sufi itu tetap diwajibkan menjalankan syari’at untuk mencapai kehadirat Ilahi Rabbi. Tanpa menjalankan syari’at, seseorang tidak akan sampai kepada Allah SWT.


4.      As-Sulami
Ø Biografi As- Sulami
Nama lengkap al-Sulami adalah Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi yang bergelar Abu Abdul Rahman al-Sulami, lahir tahun 325 H dan wafat pada bulan Sya'ban 412 H/1012 M.[2] Dia pakar hadits, guru para sufi,l dan pakar sejarah. Dia seorang syeikh thariqah yang telah dianugerahi penguasaan dalam berbagai ilmu hakikat dan perjalanan tasawuf. Dia mengarang berbagai kitab risalah dalam ilmu tasawuf setelah mewarisi ilmu tasawu dari ayah dan datuknya.
Ayahnya, Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi, wafat 348 H/958 M, ketika al-Sulami menginjak masa remaja. kemudian pendidikannya diambil alih oleh datuknya, Abu 'Amr Ismail ibn Nujayd al-Sulami (w. 360 H/971 M).
Ø Ajaran-ajaran Tasawuf As- Sulami
Manusia akan menjadi hamba ('abd) sejati kalau dia sudah bebas (hurr: merdeka) dari selain Tuhan. Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak Allah, maka apa saja yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima tanpa menentang sedikitpun (qana'ah).[4] Karena فاينما تولوا فثم وجه الله , kemanapun engkau berpaling, disitulah wajah Allah (QS. 2:115).
Dalam konsep dzikir, al-Sulami berpendapat bahwa perbandingan antara dzikir dan fakir adalah lebih sempurna fakir, karena kebenaran (al-haq) itu diberitakan oleh dzikir bukan oleh fakir dalam proses pembukaan kerohanian. Ada beberapa tingkatan mengenai dzikir, yaitu dzikir lidah, dzikir hati, dzikir sirr (rahasia), dan dzikir ruh.
Al-Sulami mengambil beberapa tasawuf dari para syeikh yang masyhur, misalnya Ibn Manazil (w. 320 H/932 M), Abu Ali al-Thaqafi, Abu Nashr al-Sarraj (pengarang kitab al-Luma' fi al-Tasawuf), Abu Qasim al-Nasrabadzi dan banyak yang lainnya, dari hal itu, otomatis warna dan corak tasawuf al-Sulami sedikit banyak dipengaruhi oleh tasawuf mereka.
Pada abad ke-3 dan ke-4 H, tasawuf berfungsi sebagai jalan mengenal Allah SWT (ma'rifah) yang tadinya hanya sebagai jalan beribadah. Tasawuf pada masa itu merupakan pengejawantahan tasawuf teoritis. Al-Sulami yang lahir dan masuk kelompok sufi pada masa itu, terkenal sebagai penulis sejarah biografi kaum sufi masyhur yang semasa dengannya yaitu dalam kitabnya Adab al-Mutasawwafah. Selain itu, dia juga terkenal dengan kitabnya Thabaqah al-Sufiyin yang juga memaparkan biografi-biografi para sufi.
Al-Sulami menitik tekankan tasawuf pada ketaatan terhadap al-Qur'an, meninggalkan perkara bid'ah dan nafsu syahwat, ta'dzim pada guru/syeikh, serta bersifat pema'af.

5.      Abu Manshur Al-Hallaj
Ø Riwayat Hidup Al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hallaj adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir di Baidha, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/255M. Ia tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Bagdad. Pada usia 16 tahun ia belajar pada seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah Tusturi di Ahwaz. Dua tahun kemudian ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi. Pada tahun 878 M, ia masuk ke kota Bagdad dan belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri kenegeri lain untuk menambah penegtahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia digelari Al-Hallaj karena penghidupannya yang di peroleh dari memintal wol.
Ø Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
Di antara ajaran tasawuf Al-Hallaj yang paling tetkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembang Ibn ‘Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu denga Tuhan (hulul). Kata al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mngambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa diri manusia sebenarnya terdapat sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan ayat berikut:
Artinya: dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah[36] kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.

[36] Sujud di sini berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan diri, karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.
Bahwa Allah member perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak diberi sujud hanya Allah, Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada unsure ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya sendiri dan ia pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam. Pada diri Adam lah, Allah muncul.
Menurut Al-Hallaj, pada hulul mengandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Namun, di lain waktu, Al-Hallaj mengatakan: “Barang siapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam dzat maupun sifat-Nya dari dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”
Dengan demikian, Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan. Dapat di tarik kesimpulan bahwa hulu yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah real karena member pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan. Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlansung pada kondisi fana’, atau menurut ungkapannya, sekadar terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan.

6.      Abu Yazid Al-Bustami
Ø Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 dan wafat tahun 947 M. Nama kecilnya adalah Thaifur. Kakeknya bernama Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk Islam di Bustam. Keluarga Abu yazid termasuk orang kaya di daerahnya, tetapi lebih memilih hidup sederhana. Sejaka dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah mempunyai kelebihan. Menurut ibunya, bayi yang dalam kandungan akan memberontak sampai sang ibu muntah jika sang ibu memakan makanan yang diragukan kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada  orang tuanya. Suatu hari gurunya menerangkan suatu surat dari Al-Qur’an surat Al-Luqman, “Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang kerumahnya untuk menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memerlukan puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seoran fakih dari madzhab Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali Al-Sindi. Ia mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid. Hanya saja, ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku. Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahunAbu Yazid mengembara di gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan dan minum.
Ø Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Ajaran tasawuf Abu Yazid yang tepenting adalah fana’ dan baqa. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata ‘faniya’, yang berate musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’ adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar Al-Kalabadzi (w.378 H/988M) mendfinisikannya, “Hilangnya semua hawa nafsu seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan segala sesuatu secara sadar, dan ia telah menhilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.
Jalan menuju fana’, manurut Abu Yazid, dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia bertanya,”Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu? Tuhan menjawab,” Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata ‘fana’ dan salah satu ucapannya: “Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku tahu kepada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup.”
Adapun baqa’ berasal dari kata ‘baqiya’. Dari segi bahasa, artinya adalah tetap, sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Faham baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan faham fana’. Keduanya merupakan faham yang berpasangan. Jika sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang menjalani baqa’. Ittihad adalah tahapan selanjutnya dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya saja dalam literature klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan.
Apakan karena pertimbangan keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat sulit dipraktikan dan masih perlu pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu di analisis lebih lanjut. Namun, menurut Harun Nasution, uraian tentang itthad banyak terdapat dalam buku karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad,”identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu”. Sufi bersangkutan, karena fana’nya telah tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Denga fana’nya, Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada Tuhan dapat dilihat dari Syahadat yang diucapkannya. Syahadat adalah ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu gerbang ittihad.


BAB III
KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa, di samping ada tasawuf yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia, tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.
Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, diantaranya Rabi’ah Al-Adawiyah, yang tercatat dengan perkembangan mistisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah. Dzu An-Nun Al-Mishri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid Al-Bustami dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’. Abu Manshur Al-Hallaj, dengan ajaran taswufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.
























DAFTAR PUSTAKA

1.      Arifin, Tokoh-tokoh Shufi. Surabaya: Karya Utama
2.      Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2009
5.      Musthofa, Akhmad, Akhlaq Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2008