BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa manusia larut dan
terbuai dalam dinamika modernitas, yang dibarengi dengan akselerasi-akselerasi
sains dan teknologi canggih. Keadaan ini membuat manusia lengah sehingga
demensi spiritualnya lambat laun terkikis. Kita sering menyaksikan
tercerabutnya akar spriritualitas di panggung kehidupan. Salah satu penyebabnya
adalah pola hidup global yang dilayani oleh perangkat teknologi yang serba
canggih.
Dalam konteks Islam, untuk mengatasi keterasingan dan kekosongan
spiritualitas dan sekaligus membebaskan dari derita alienasi (dalam bahasa
sosiolog, berarti keterasingan) adalah dengan menjadikan Tuhan sebagai tujuan
akhir (ultimate goal) dan kembali, karena Tuhan adalah Dzat Yang Maha Memiliki
dan Maha Absolut. Keyakinan dan perasaan seperti inilah yang akan memberikan
kekuatan, kendali dan kedamaian jiwa seseorang sehingga ia merasa senantiasa
berada dalam “orbit” Tuhan.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang di atas, maka masalah
yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa pengertian tasawuf irfani?
2. Siapa tokoh dan pemikirannya dalam paham tasawuf irfani?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan
masalah di atas, maka tujuan ditulisnya makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian tasawuf irfani.
2. Mengetahui tokoh-tokoh dan paham
dari aliran tasawuf irfani.
D. Metode Penulisan
Dalam penyusunan makalah ini
metode penulisan yang kami gunakan adalah metode kepustakaan, dengan mencari
bahan-bahan materi dari berbagai sumber, baik media cetak ataupun dari
kajian-kajian Islam multi media.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tasawuf Irfani
Secara etimologis, kata
irfan merupakan kata jadian (masdhar) dari kata ‘arafa’ (mengenal/pengenalan).
Adapun secara terminologis, ‘irfan diidentifikasikan dengan ma’rifat sufistik.
Orang yang ‘irfat/ makrifat kepada Allah
adalah yang benar-benar mengenal Allah melalui dzauq dan kasyf
(ketersingkapan). Ahli ‘irfan adalah yang bermakrifat kepada Allah. Terkadang
kata itu diidentifikasikan dengan sifat-sifat inheren tertentu yang tampak pada
diri seorang ‘arif (yang bermakrifat kemada Allah), dan menjadi hal baginya.
Dalam konteks ini, Ibn ‘Arabi berkata, ‘Arif adalah seseorang yang memperoleh
penampakan Tuhan sehingga pada dirinya tampak kondisi-kondisi hati tertentu
(ahwal). ‘Irfan diperoleh seseorang melalui jalan al-idrak al-mubasyir
al-wudjani (penangkapan langsung secara emosional), bukan penagkapan langsung
secara rasional. Pembicaraan tentang ‘irfan atau makrifat dikalangan sufi
dimulai sekitar abad III dan IV H. Tokoh sufi yang sangat menonjol
membicarakannya adalah Dzu An-Nun Al-Mishri (w. 245 H/859M). Sementara
Al-Ghazali diposisikan sebagai tokoh sufi yang pertama kali mendalaminya secara
intens.
Sebagai sebuah ilmu,
‘irfan memiliki dua aspek yakni aspek praktis dan aspek teoritis. Aspek
praktisnya adalah bagian menjelaskan hubungan dan penaggungjwaban manusia
terhadap dirinya, dunia dan Tuhan. Sebagai ilmu praktis, bagian ini menyerupai
etika. Bagian praktis ini juga di sebut syar wa suluk (perjalanan rohani).
Bagian ini menjelaskan bagaimana seorang penempuh rohani (salik) yang ingin
mencapai tujuan puncak kemanusiaan, yakni tauhid, harus mengawali perjalanan,
menempuh tahapan-tahapan (maqam) perjalanannya secara berturutan, dan keadaan
jiwa (hal) yang bakal dialami sepanjang perjalanannya tersebut.
Sementara itu, ‘irfan
teoritis memfokuskan perhatiannya pada masalah wujud (ontologi), mendiskusikan
manusia, serta Tuhan alam semesta. Dengan sendirinya, bagian ini menyerupai
teosofi (falsafah Illahi) yang juga memberikan penjelasan tentang wujud.
Seperti halnya filsafat, bagian ini mendefinisikan berbagai prinsip dan
problemnya. Namun, jika filsafat hanya mendasarkan argumennya pada
prinsip-prinsip rasional, ‘irfan mendasarkan diri pada ketersibakan mistik yang
kemudian diterjemahkan dalam bahasa rasional untuk menjelaskannya.
Di samping ada tasawuf
yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan
perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang
mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf
irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia,
tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak
pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.
B. Tokoh-tokoh Sufi yang Termasuk dalam Aliran Tasawuf Irfani
Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, diantaranya
sebagai berikut:
1. Rabi’ah Al-Adawiyah
Ø Biografi Singkat Rabi’ah Al-Adawiyyah
Rabi’ah yang bernama
lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah, diperkirakan
lahir tahun 95 H/713 M atau 99 H/717 M di sebuah perkampungan di dekat kota
Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun 185 H/801 M. Ia dilahirkan
sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Karena ia putri
keempat, orang tua menamakannya Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia
masih kecil. Konon, pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia
dilarikan penjahat dan di jual kepada keluarga atik dari suku Qais
Banu Adwah. Dari sini, ia di kenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyyah. Pada
keluarga ini pulalah, ia bekerja keras, tetapi akhirnya dibebaskan karena
tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Al-Adawiyyah dan menerangi
seluruh ruangan rumah saat ia beribadah.
Setelah dimerdekakan oleh
tuannya, Rabi’ah pergi hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai seorang
zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan beribadah untuk
mendekatan diri kepada Allah sekaligus kekasihnya. Ia memperbanyak taubat dan menjauhi kehidupan duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi
yang diberikan kepadanya. Bahkan dalam do’anya, ia tidak meminta
hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.
Pendapat ini ternyata
dipersoalkan oleh Badawi. Rabi’ah menurutnya, sebelum bertobat pernah menjalani
kehidupan duniawi . untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Rabi’ah tidak
mendapatkan jalan lain, kecuali menjadi penyanyi dan penari sehingga begitu
terbenam dalam kehidupan duniawi. Alasan yang digunakan Badawi untuk menguatkan
pendapatnya adalah intensitas tobat Rabi’ah itu sendiri. Menurut Badawi, tidak
mungkin iman dan kecintaan Rabi’ah kepada Allah begitu ekstremnya, kecuali ia
pernah sedemikian jauh dalam menjalani dan mencintai kehidupan duniawinya.
Ø Ajaran Tasawuf Rabi’ah
Al-Adawiyyah
Rabi’ah Al-‘Adawiyyah
tercatat dalam perkembangan mistisme Islam sebagai peletak dasar tasawuf
berdasarkan cinta kepada Allah. Sementara generasi sebelumnya merintis aliran
asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan penharagaan kepada Allah.
Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan pengertian rasa tulus ikhlas dengan
cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari Allah.
Sikap dan pandangan
Rabi’ah ‘Al-Adawiyyah tentag cinta dipahami dari kata-katanya, baik yang
langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-Qusyairi meriwayatkan bahwa
katika bermunajat, Rabi’ah menyatakan doanya, “Tuhanku, akan Kau bakar kalbu
yang mencintai-Mu?” Tiba-tiba terdengar suara, ”Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangka kepada
Kami.”
2. Dzu An-Nun Al-Mishri
Ø Biografi Singkat Dzu
An-Nun Al-Mishri
Dzu An-Nun Al-Mishri adalah
nama julukan bagi seorang sufi yang tinggal di sekitar pertengahan abad ketiga
Hijriah. Nama lengkapnya Abu Al- Faidh Tsauban bin Ibrahim.
Ia dilahirkan di Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 180 H/ 796M. dan
meninggal pada tahun 246H/856M. Julukan Dzu An-Nun diberikan kepadanya
sehubungan dengan berbagai kekeramatannya yang Allah berikan kepadanya. Di
antaranya ia pernah mengeluarkan seorang anak dari perut buaya dalam keadaan
selamat di sungai Nil atas permintaan ibu dari anak tersebut.
Asal mula Al-Mishri tidak
banyak diketahui, tetapi riwayatnya sebagai seorang sufi banyak diutarakan.
Al-Mishri dalam perjalanan hidupnya berpindah dari satu tempat ke tempat lain.
Ia pernah menjelajahi berbagai daerah di Mesir, mengunjungi Bait Al-Maqdis,
Baghdad, Mekah, Hijaz, Syria, Pegunungan Libanon, Anthokiah, dan Lembah kan’an.
Hal ini menyebabkan ia memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Ia hidup
pada masa munculnya sejumlah ulama terkemuka dalam bidang ilmu fiqh, ilmu
hadis, dan guru sufi, sehingga dapat berhubungan dan mengambil pelajaran dari
mereka. Ia pernah mengikuti pengajian Ahmad bin Hanbal. Ia mengambil riwayat
hadis dari Malik, Al-Laits, dan lain-lainnya. Adapun yang pernah mengambil
riwayat darinya, antara lain Al-Hasan bin Mush’ib An-Nakha’iy. Gurunya dalam
bidang tasawuf adalah Syaqran Al-‘Abd atau Israfil Al-Maghribiy. Ini yang
menjadikan ia seorang alim, baik dalam ilmu syariat maupun tasawuf.
Sebelum Al-Mishri,
sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi, tetapi ia adalah orang pertama yang
memberi tafsiran terhadap isyarat-isyarat tasawuf. Ia pun merupakan orang pertama
di Mesir yang membicarakan tentang Ahwal dan Maqamat para wali dan orang yang
pertama memberi definisi tauhid dengan pengertian yang bercorak sufistik. Ia mempunyai
pengaruh besar dalam pembentukan pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau
sejumlah penulis menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
Pendapat tersebut cukup
beralasan mengingat Al-Mishri hidup pada awal pertumbuhan ilmu tasawuf. Lagi
pula, ia seorang sufi pengembara yang memiliki kemampuan dan keberanian untuk
menyatakan pendapatnya. Keberaniannya menyebabkan ia harus berhadapan dengan
gelombang protes yang disertai dengan tuduhan zindiq. Akibatnya, ia pernah di
panggil menghadap Khalifah Al-Mutawakkil. Namun, ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir
dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui secara umum tatkala
ia meninggalkan dunia yang fana ini.
Ø Ajaran-ajaran Tasawuf Dzu
An-Nun Al-Mishri
·
Makrifat
Al-Mishri adalah pelopor
paham makrifat. Penilaian ini sangatlah tepat karena berdasarkan riwayat
Al-Qathi dan Al-Mas’udi yang kemudian dianalisis Nicholson dan Abd Al-Qadir
dalam falsafah As-Sufiah fi Al-Islam, Al-Mishri berhasil memperkenalkan corak
baru tentang makrifat dalam bidang sufisme Islam. Pertama, ia membedakan “makrifat
sufiah” dengan “makrifat aqliyah”. Bila yang pertama menggunakan pendapat qalb
yang biasa digunakan para sufi, yang kedua menggunakan pendekatan akal yang
biasa digunakan para teolog. Kedua, menurut Al-Mishri, makrifat sebenarnya
adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian hati), sebab makrifat merupakan fitrah
dalam hati manusia sejak azali. Ketiga, teori-teori makrifat Al-Mishri
menyerupai gnosisme ala-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian di anggapa
sebagai jembatan menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad.
Pandangan-pandangan
Al-Mishri tentang makrifat pada umumnya sulit di terima kalangan teolog
sehingga di anggap sebagai seorang zindiq. Karena itu pula, di tangkap Khalifah
kemudian dibebaskan. Berikut beberapa pandangannya tentang makrifat:
ü Sesungguhnya makrifat yang
hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan, sebagaimana yang dipercayai
orang-orang mukmin, bukan pula ilmu-ilmu burhan dan nazar milik para hakim,
mutakalimin dan ahli balaghah, tetapi makrifat terhadap keesaan Tuhan yang
khusus dimilki para ahli Allah. Sebab, mereka adalah orang yang menyaksikan
Allah dengan hatinya, sehingga terbukalah baginya apa yang tidak dibukakan
untuk hamba-hamban-Nya yang lain.
ü Makrifat yang sebanarnya
adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan cahaya makrifat yang murni seperti
matahari tak dapat di lihat kecuali dengan cahayanya. Senantiasa seorang hamba
mendekat kepada Allah sehingga terasa hilang dirinya, lebur dalam
kekuasaan-Nya, mereka merasa berbicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah
pada lidah mereka, mereka melihat demgan penglihatan Allah, mereka berbuat
dengan perbuatan Allah.
Kedua pandangan Al-Mishri
di atas menjelaskan bahwa makrifat kepada Allah tidak dapat di tempuh melalui
pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian, tetapi dengan jalan makrifat batin,
yakni Tuhan menyinari hati manusia dan menjaganya dari ketercemasan, sehingga
semua yang ada di dunia ini tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini,
sifat-sifat rendah manusia perlahan-lahanterangkat ke atas dan selanjutnya
menyandang sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan, samapai akhirnya, ia
sepenuhnya di dalam-Nya dan lewat diri-Nya.
Al-Mishri membagi
pengetahuan tentang Tuhan (makrifat) menjadi tiga macam, yaitu:
1. Pengetahuan untuk seluruh Muslim
2. Pengetahuan khusus untuk filosof dan ulama dan
3. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.
·
Maqamat dan Ahwal
Pandangan Al-Mishri
tentang maqamat, dikemukakan pada beberapa hal saja, yaitu at-taubah,
ash-shabr, at-tawakal dan ar-ridha. Dalam Dairat Al-Ma’rifat Al-Islamiyyat
terdapat keterangan berasala dari Al-Mishri yang menjelaskan bahwa
simbol-simbol zuhud itu adalah sedikit cita-cita, mencintai kekafiran, dan
memiliki rasa cukup yang disertai dengan kesabaran. Meskipun demikian, dapat
dikatakan bahwa jumlah maqam yang di sebut Al-Mishri lebih sedikit dibandingkan
dengan apa yang dikemukakan sejumlah penulis sesudahnya.
Menurut Al-Mishri, ada dua
macam taubat, yaitu taubat awam dan taubat khawas. Orang awam bertaubat karena kelalaian (dari mengingat Tuhan).
Dalam ungkapan lain, ia mengungkapkan bahwa sesuatu yang di anggap sebagai
kebaikan oleh al-abrar di anggap sebagai dosa al-muqqarabin. Pandang ini mirip
dengan pernyataan Al-Junaidi yang mengatakan bahwa tobat adalah “engkau
melupakan dosamu”. Pada tahap ini orang-orang yang mendambakan hakikat tidak
lagi mengingat dosa mereka karena terkalahkan oleh perhatian yang tertuju
kepada kebesaran Tuhan dan dzikir yang berkesinambungan.
Keterangan Al-Mishri
tentang maqam ash-shabr dikemukakan dalam bentuk kepingan dialog dari sebuah
riwayat. Suatu ketika ia menjenguk orang yang sakit. Ketika orang sakit itu
merintih, Al-Mishri berkata, “Tidak termasuk cinta yang benar orang yang tidak
sabar dalam menghadapi cobaan Tuhan”. Orang sakit itu kemudian menimpali,
“Tidak benar pula cintanya orang yang merasakan kenikmatan dari suatu cobaan.”
Berikut ini merupakan
sebuah contoh ucapan Al-Mishri selagi kedua tangan dan haknya di belenggu
sambil di bawa ke hadapan penguasa dengan disaksikan oleh orang banyak. Ia
berkata , “Ini adalah salah satu pemberian Tuhan dan karunia-Nya. Semua
perbuatan Tuhan merupakan nikmat dan kebaikan.
Berkenaan dengan maqam
at-tawakal, Al-Mishri mendefinisikannya sebagai berhenti memikirkan diri
sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan. Intinya adalah penyerahan diri
sepenuhnya kepada Allah disertai perasaan tidak memiliki kekuatan.
Ketika di tanya tentang ar-ridha, Al-Mishri menjawab bahwa ar-ridha adalah kegembiraan
hati menyambut ketentuan Tuhan baginya. Pendapat ini sejalan dengan apa yang
dikatakan oleh Al-Qanad, yakni ar-ridha adalah ketenangan hati dengan
berlakunya ketentuan Tuhan. Kedua pendapat ini pada dasarnya menunjukkan makna
yang sama. Perbedaanya hanya terletak pada pemilihan kata Al-Mishri memilih
kata surur al-qalb untuk ketenangan hati, sedangkan Al-Qanad memilih kata sukun
al-qalb.
Berkenaan dengan ahwal,
Al-Mishri menjadikan mahabbah “cinta kepada Tuhan” sebagai urutan pertama dari
empat ruang lingkup pembahasan tentang tasawuf. Sebab, tanda-tanda orang yang
mencintai Allah adalah mengikuti kekasih-Nya, yakni Nabi Muhammad saw, dalam
hal akhlak, perbuatan, segala perintah dan sunnahnya.
3.
Al-Junaidi al-Baghdadi
Ø Biografi Al-Junaidi al-Baghdadi
Abu AI-Qasim Al-Junayd bin
Muhammad Al-Junayd AI-Khazzaz Al-Qawariri, lahir sekitar tahun 210 H di
Baghdad, Iraq, la berasal dari keluarga Nihawand, keluarga pedagang di Persia,
yang kemudian pindah ke Iraq. Ayahnya, Muhammad ibn Al-Junayd. Ia adalah murid
dari Sirri al-Saqati dan Haris al-Muhasibi.
Al-Junaidi pertama kali
memperoleh didikan agama dari pamannya (saudara ibunya), yang bernama Sari
Al-Saqati, seorang pedagang rempah-rempah yang sehari-harinya berkeliling
menjajakan dagangannya di kota Baghdad. Pamannya ini dikenal juga sebagai
seorang sufi yang tawadhu dan luas ilmunya. Berkat kesungguhan dan kecerdasan
Al-Junaidi, seluruh pelajaran agama yang diberikan pamannya mampu diserapnya dengan
baik. Dan ia meninggal tahun 297 H / 298 M. dan dianggap sebagai perintis dari
tasawuf yang bercorak ortodoks.
Ø Ajaran-ajaran Tasawuf
Al-Junaidi al-Baghdadi
Sebelum ajaran tasawuf
Al-Junayd al-Baghdadi, terdapat Pandangan-pandangan para sufi cukup radikal,
memancing para yuris (fukaha) atau ahli fikih untuk mengambil sikap. Sehingga
muncul pertentangan antara para pengikut tasawuf dan ahli fikih. Ahli fikih
memandang pelaku tasawuf sebagai orang-orang zindik, yang mengaku Islam tapi
tidak pernah menjalankan syariatnya. Hal ini karena, banyak pelaku tasawuf yang
secara lahir meninggalkan tuntunan-tuntunan syari’at. Sebaliknya, tokoh
zuhud-tasawuf memandang tokoh-tokoh fikih sebagai orang-orang yang hanya
memperhatikan legalitas suatu persoalan, banyak penyelewengan dilakukan untuk
mendapatkan hal-hal yang sebenarnya dilarang.
Dari adanya hal itu,
Al-Junayd al-Baghdadi memberikan penegasan lebih lanjut akan pentingnya amalan
untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut al-Junayd, tasawuf adalah
pengabdian kepada Allah dengan penuh kesucian. Oleh karena itu, barang siapa
yang membersihkan diri dari segala sesuatu selain Allah, maka ia adalah sufi.
Karena penekanan pada
aspek amaliah inilah, maka tasawuf Al-Junayd al-Baghdadi terkesan berusaha menciptakan
keseimbangan antara syari’at dan hakikat. Ini merupakan kecenderungan yang
berbeda sama sekali dengan tasawuf yang berorientasi pada pemikiran atau
falsafah. syari’at yang tidak diperkuat dengan hakikat akan tertolak, demikian
pula hakikat yang tidak diperkuat dengan syari’at juga akan tertolak. Syari’at
datang dengan taklif kepada makhluk sedangkan hakikat muncul dari pengembaraan
kepada yang Haq (Allah). Hal itu berarti kedekatan kepada Allah dapat dicapai
manakala orang telah melaksanakan amaliah lahiriah berupa syari’at dan kemudian
dilanjutkan dengan amaliah batiniah berupa hakikat.
Al-Junayd dikenal
pemikirannya beraliran salaf. la tidak bersikap radikal dalam menghadapi setiap
persoalan. la lebih berkonsentrasi pada ajaran tasawufnya yang bersandarkan
pada Al Qur’an dan Hadits.
Hal itu dapat dilihat pada
pemikirannya yang disesuaikan dengan firman Allah:
Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan)
duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Dimana, pada umumnya orang
memahami Zuhud sebagai sikap hidup para sufi yang meninggalkan kebahagiaan
duniawi. Mereka membekali diri untuk mengejar kehidupan dan kebahagiaan akhirat
semata, seolah tidak peduli dengan urusan duniawi atau urusan orang lain di
sekitarnya. Jangankan urusan duniawi orang lain, untuk kebutuhan hidupnya
sendiri pun terkadang ia tidak terlalu peduli.
Karena diakuiatau tidak
bahwasanya Tasawuf sebenarnya telah ada sejak Rasulullah, akan tetapi
Rasulullah tidak secara langsung meneyebutkannya dengan tasawuf secara gamlang.
Hal itu dapat terlihat dari pola hidup serta tata cara beliau dalam segala
bentuk hidupnya yang menampilkan dengan penuh kesederhanaan. Namun pada
perkembangan selanjutnya tasawwuf mengalami kemajuan yang dikembangkan oleh
masing-masing tokoh tasawuf dengan model masing-masing.
Begituhalnya mengenai
masalah hulul dan ittihad yang tetap melandasinya dengan apa yang terdapat didalam
ajaran al-Qur’an dan hadis. Artinya tasawuf Junaid al-Baghdady ini
tetap memandang bahwa pentingnya syariat demi mencapai akhirat. Dimana, ajaran
tasawuf al-Junaid ini sama dengan ajaran tasawuf Al-Muhibbi yang memberi
tekanan besar pada disiplin diri atau lebih sepesifik pada disiplin
kalbu. Ia memperjelas antara orientasi ukrawi dan moralitas.
Dari ajaran tasawuf
Al-Junaidi al-Baghdadi ini sangat jelas bahwasanya, orang sufi itu tetap
diwajibkan menjalankan syari’at untuk mencapai kehadirat Ilahi Rabbi. Tanpa
menjalankan syari’at, seseorang tidak akan sampai kepada Allah SWT.
4. As-Sulami
Ø Biografi As- Sulami
Nama lengkap
al-Sulami adalah Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi yang
bergelar Abu Abdul Rahman al-Sulami, lahir tahun 325 H dan wafat pada bulan
Sya'ban 412 H/1012 M.[2] Dia pakar hadits, guru para
sufi,l dan pakar sejarah. Dia seorang syeikh thariqah yang telah dianugerahi
penguasaan dalam berbagai ilmu hakikat dan perjalanan tasawuf. Dia mengarang
berbagai kitab risalah dalam ilmu tasawuf setelah mewarisi ilmu tasawu dari
ayah dan datuknya.
Ayahnya, Husain
ibn Muhammad ibn Musa al-Azdi, wafat 348 H/958 M, ketika al-Sulami menginjak
masa remaja. kemudian pendidikannya diambil alih oleh datuknya, Abu 'Amr Ismail
ibn Nujayd al-Sulami (w. 360 H/971 M).
Ø Ajaran-ajaran Tasawuf As- Sulami
Manusia akan menjadi hamba ('abd) sejati kalau dia sudah bebas (hurr: merdeka)
dari selain Tuhan. Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak Allah,
maka apa saja yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima tanpa menentang
sedikitpun (qana'ah).[4] Karena فاينما تولوا
فثم وجه الله , kemanapun engkau berpaling,
disitulah wajah Allah (QS. 2:115).
Dalam konsep dzikir, al-Sulami berpendapat bahwa perbandingan antara dzikir
dan fakir adalah lebih sempurna fakir, karena kebenaran (al-haq) itu
diberitakan oleh dzikir bukan oleh fakir dalam proses pembukaan kerohanian. Ada
beberapa tingkatan mengenai dzikir, yaitu dzikir lidah, dzikir hati, dzikir
sirr (rahasia), dan dzikir ruh.
Al-Sulami
mengambil beberapa tasawuf dari para syeikh yang masyhur, misalnya Ibn Manazil
(w. 320 H/932 M), Abu Ali al-Thaqafi, Abu Nashr al-Sarraj (pengarang kitab
al-Luma' fi al-Tasawuf), Abu Qasim al-Nasrabadzi dan banyak yang lainnya, dari
hal itu, otomatis warna dan corak tasawuf al-Sulami sedikit banyak dipengaruhi
oleh tasawuf mereka.
Pada abad ke-3
dan ke-4 H, tasawuf berfungsi sebagai jalan mengenal Allah SWT (ma'rifah) yang
tadinya hanya sebagai jalan beribadah. Tasawuf pada masa itu merupakan
pengejawantahan tasawuf teoritis. Al-Sulami yang lahir
dan masuk kelompok sufi pada masa itu, terkenal sebagai penulis sejarah
biografi kaum sufi masyhur yang semasa dengannya yaitu dalam kitabnya Adab
al-Mutasawwafah. Selain itu, dia juga terkenal dengan
kitabnya Thabaqah al-Sufiyin yang juga memaparkan biografi-biografi para sufi.
Al-Sulami menitik tekankan tasawuf pada ketaatan terhadap al-Qur'an,
meninggalkan perkara bid'ah dan nafsu syahwat, ta'dzim pada guru/syeikh, serta
bersifat pema'af.
5. Abu Manshur Al-Hallaj
Ø Riwayat Hidup Al-Hallaj
Nama lengkap Al-Hallaj
adalah Abu Al-Mughist Al-Husain bin Manshur bin Muhammad Al-Baidhawi. Ia lahir
di Baidha, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/255M. Ia
tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat Bagdad. Pada usia 16 tahun ia belajar pada
seorang sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl bin ‘Abdullah Tusturi di Ahwaz. Dua
tahun kemudian ia pergi ke Bashrah dan berguru kepada ‘Amr Al-Makki yang juga
seorang sufi. Pada tahun 878 M, ia masuk ke kota Bagdad dan belajar kepada
Al-Junaid. Setelah itu ia pergi mengembara dari satu negeri kenegeri lain untuk
menambah penegtahuan dan pengalaman dalam ilmu tasawuf. Ia digelari Al-Hallaj
karena penghidupannya yang di peroleh dari memintal wol.
Ø Ajaran Tasawuf Al-Hallaj
Di antara ajaran tasawuf
Al-Hallaj yang paling tetkenal adalah al-hulul dan wahdat asy-syuhud yang
kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan wujud) yang dikembang Ibn
‘Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu denga Tuhan (hulul). Kata
al-hulul, berdasarkan pengertian bahasa, berarti menempati suatu tempat. Adapun
menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang mengatakan bahwa
Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mngambil tempat di dalamnya
setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat
bahwa diri manusia sebenarnya terdapat sifat-sifat ketuhanan. Ia menakwilkan
ayat berikut:
Artinya: dan (ingatlah) ketika Kami
berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah[36] kamu kepada Adam," Maka
sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk
golongan orang-orang yang kafir.
[36] Sujud di sini
berarti menghormati dan memuliakan Adam, bukanlah berarti sujud memperhambakan
diri, karena sujud memperhambakan diri itu hanyalah semata-mata kepada Allah.
Bahwa Allah member
perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam. Karena yang berhak diberi
sujud hanya Allah, Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri Adam sebenarnya ada
unsure ketuhanan. Ia berpendapat demikian karena sebelum menjadikan makhluk,
Tuhan melihat Dzat-Nya sendiri dan ia pun cinta kepada Dzat-Nya sendiri, cinta
yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab
dari yang banyak ini. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy
diri-Nya yang mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam.
Pada diri Adam lah, Allah muncul.
Menurut Al-Hallaj, pada
hulul mengandung kefanaan total kehendak manusia dalam kehendak ilahi sehingga
setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga tindakannya. Namun, di
lain waktu, Al-Hallaj mengatakan: “Barang siapa mengira bahwa ketuhanan
berpadu jadi satu dengan kemanusiaan ataupun kemanusiaan berpadu dengan
ketuhanan, kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri dalam dzat maupun sifat-Nya dari
dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai makhluk-Nya dan mereka
pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”
Dengan demikian, Al-Hallaj
sebenarnya tidak mengakui bahwa dirinya Tuhan dan juga tidak sama dengan Tuhan.
Dapat di tarik kesimpulan bahwa hulu yang terjadi pada Al-Hallaj tidaklah real
karena member pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan Tuhan.
Dengan demikian, hulul yang terjadi hanya kesadaran psikis yang berlansung pada
kondisi fana’, atau menurut ungkapannya, sekadar terlebarnya nasut dalam lahut,
atau dapat dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan.
6. Abu Yazid Al-Bustami
Ø Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah Abu
Yazid Thaifur bin ‘Isa bin Surusyan Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia)
tahun 874 dan wafat tahun 947 M. Nama kecilnya adalah Thaifur. Kakeknya bernama
Sursuryan, seorang penganut agama Zoroaster, kemudian masuk dan menjadi pemeluk
Islam di Bustam. Keluarga Abu yazid termasuk orang kaya di daerahnya, tetapi
lebih memilih hidup sederhana. Sejaka dalam kandungan ibunya, Abu Yazid telah
mempunyai kelebihan. Menurut ibunya, bayi yang dalam kandungan akan memberontak
sampai sang ibu muntah jika sang ibu memakan makanan yang diragukan
kehalalannya.
Sewaktu meningkat usia
remaja, Abu Yazid juga terkenal sebagai murid yang pandai dan seorang anak yang
patuh mengikuti ajaran agama, serta berbakti kepada orang tuanya. Suatu
hari gurunya menerangkan suatu surat dari Al-Qur’an surat Al-Luqman, “Berterima
kasihlah kepada Aku dan kepada kedua orang tuamu”. Ayat ini sangat menggetarkan
hati Abu Yazid. Ia kemudian berhenti belajar dan pulang kerumahnya untuk
menemui ibunya. Itulah suatu gambaran bagaimana ia memenuhi setiap panggilan
Allah.
Perjalanan Abu Yazid untuk
menjadi seorang sufi memerlukan puluhan tahun. Sebelum membuktikan dirinya
sebagai seorang sufi, ia terlebih dahulu menjadi seoran fakih dari madzhab
Hanafi. Salah seorang gurunya yang terkenal adalah Abu Ali Al-Sindi. Ia
mengajarkan ilmu tauhid, ilmu hakikat dan ilmu-ilmu lainnya kepada Abu Yazid.
Hanya saja, ajaran sufi Abu Yazid tidak ditemukan dalam bentuk buku. Dalam menjalani kehidupan zuhud, selama 13 tahunAbu Yazid mengembara di
gurun-gurun pasir di Syam, dengan sedikit sekali tidur, makan dan minum.
Ø Ajaran Tasawuf Abu Yazid
Ajaran tasawuf Abu Yazid
yang tepenting adalah fana’ dan baqa. Dari segi bahasa, fana’ berasal dari kata
‘faniya’, yang berate musnah atau lenyap. Dalam istilah tasawuf, fana’
adakalanya diartikan sebagai keadaan moral yang luhur. Dalam hal ini, Abu Bakar
Al-Kalabadzi (w.378 H/988M) mendfinisikannya, “Hilangnya semua hawa nafsu
seseorang, tidak ada pamrih dari segala perbuatan manusia, sehingga ia kehilangan
segala perasaannya dan dapat membedakan segala sesuatu secara sadar, dan ia
telah menhilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu.”
Jalan menuju fana’,
manurut Abu Yazid, dikisahkan dalam mimpinya menatap Tuhan. Ia
bertanya,”Bagaimana caranya agar aku sampai kepada-Mu? Tuhan menjawab,” Tinggalkan diri (nafsu)mu
dan kemarilah.” Abu Yazid pernah melontarkan kata ‘fana’ dan salah satu
ucapannya: “Aku tahu kepada Tuhan melalui diriku hingga aku fana’, kemudian aku
tahu kepada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup.”
Adapun baqa’ berasal dari
kata ‘baqiya’. Dari segi bahasa, artinya adalah tetap, sedangkan berdasarkan
istilah tasawuf berarti mendirikan sifat-sifat terpuji kepada Allah. Faham
baqa’ tidak dapat dipisahkan dengan faham fana’. Keduanya merupakan faham yang
berpasangan. Jika sufi sedang mengalami fana’, ketika itu juga ia sedang
menjalani baqa’. Ittihad adalah tahapan
selanjutnya dialami seorang sufi setelah melalui tahapan fana’ dan baqa’. Hanya
saja dalam literature klasik, pembahasan tentang ittihad ini tidak ditemukan.
Apakan karena pertimbangan
keselamatan jiwa atau ajaran ini sangat sulit dipraktikan dan masih perlu
pembahasan, merupakan pertanyaan yang perlu di analisis lebih lanjut. Namun,
menurut Harun Nasution, uraian tentang itthad banyak terdapat dalam buku
karangan orientalis.
Dalam tahapan ittihad,
seorang sufi bersatu dengan Tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai
menyatu, baik subtansi maupun perbuatannya. Dalam ittihad,”identitas telah
hilang, identitas telah menjadi satu”. Sufi bersangkutan, karena fana’nya telah
tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan.
Denga fana’nya, Abu Yazid
meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat Tuhan. Bahwa ia telah berada dekat
pada Tuhan dapat dilihat dari Syahadat yang diucapkannya. Syahadat adalah
ucapan-ucapan yang dikeluarkan seorang sufi ketika ia mulai berada di pintu
gerbang ittihad.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan bahwa, di samping ada tasawuf
yang membahas moralitas yang terukur, seperti kejujuran, keikhlasan, dan
perkataan yang benar, yang dinamakan tasawuf akhlaqi, ada juga tasawuf yang
mempunyai tingkatan lebih tinggi lagi, yang di sebut tasawuf irfani. Tasawuf
irfani tidak hanya membahas soal keikhlasan dalam hubungaan antarmanusia,
tetapi lebih jauh menetapkan bahwa apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak
pernah kita lakukan. Inilah tingkatan ikhlas yang paling tinggi.
Terdapat banyak tokoh yang termasuk tokoh tasawuf irfani, diantaranya
Rabi’ah Al-Adawiyah, yang tercatat dengan perkembangan mistisme Islam sebagai
peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta (mahabbah) kepada Allah. Dzu An-Nun
Al-Mishri, yang terkenal sebagai pelopor paham makrifat. Abu Yazid Al-Bustami
dengan ajaran tasawuf terpentingnya adalah fana’ dan baqa’. Abu Manshur
Al-Hallaj, dengan ajaran taswufnya yang paling terkenal adalah al-hulul dan
wahdat asy-syuhud yang kemudian melahirkan paham wihdat al-wujud (kesatuan
wujud) yang dikembangkan Ibn ‘Arabi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arifin, Tokoh-tokoh Shufi. Surabaya: Karya Utama
2. Anwar, Rosihon. Akhlak
Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2009
5. Musthofa, Akhmad, Akhlaq Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia,
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar