BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Filsafat
merupakan ilmu pengetahuan yang mempersoalkan hakikat dari segala yang ada.
Kata falsafah secara harfiah berasal dari bahasa Arab, yang berasal dari bahasa
Yunani philosophia yang berarti cinta kepada pengetahuan atau cinta kepada
kebijaksanaan. Selain itu, filsafat dapat pula berarti mencari hakikat sesuatu,
berusaha memautkan sebab dan akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman –
pengalaman manusia. Dalam kamus Umum bahasa Indonesia, Poerwadarminta
mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi
mengenai sebab – sebab, asas – asas, hukum dan sebagainya terhadap segala yang
ada di alam semesta ataupun mengenai kebenaran dan arti “adanya” sesuatu.
Pengertian filsafat secara umum yang digunakan adalah pendapat yang dikemukakan
Sidi Ghazalba. Menurutnya, filsafat adalah berfikir secara mendalam,
sistematik, radikal dan universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah
atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada. Orang yang cinta kepada
pengetahuan atau kebijaksanaan disebut philosophos atau dalam bahasa arab
failosuf ( filosof).
Dari
defenisi tersebut, dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya
menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik
objek formanya. Filsafat mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti, hakikat,
atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik proyek formanya. Filsafat
mencari sesuatu yang mendasar, asas dan inti yang terdapat di balik yang
bersifat lahiriah. Sebagai contoh, kita jumpai berbagai merk bolpoin dengan
kualitas dan harga berlainan, namun intinya sama, yaitu sebagai alat tulis.
Ketika disebut alat tulis, tercakuplah semua nama dan jenis bolpoin.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Islam
di tinjau dari aspek Filsafat
Berfikir
secara filosofis selanjutnya dapat digunakan dalam memenuhi ajaran agama,
dengan maksud agar hikmah, hakikat, atau inti dari ajaran agama dapat
dimengerti dan dipahami secara seksama. Pendekatan filosofis sebenarnya sudah
banyak dilakukan oleh para ahli. Buku berjudul Hikmah At-Tasyri’ wa Falsafatuhu
yang ditulis oleh Muhammad Al-uirjawi berupa mengungkapkan hikmah yang terdapat
di balik ajaran-ajaran agama Islam. Ajaran Islam misalnya mengajarkan seseorang
agar melaksanakan shalat berjama’ah. Tujuannya antara lain agar seseorang
merasakan hikmah hidup secara berdampingan dengan orang lain. Dengan
mengerjakan puasa misalnya, seseorang dapat merasakan lapar yang selanjutnya
menimbulkan rasa iba dengan sesamanya yang hidup serba kekurangan. Demikian
pula, ibadah haji yang dilaksanakan di kota Mekah, dalam waktu yang bersamaan,
dengan bentuk dan gerak ibadah (manasik) yang sama dengan yang dikerjakan
lainnya dimaksudkan agar orang yang mengerjakan berpandangan luas, merasakan
bersaudara dengan sesame muslim dari seluruh dunia. Thawaf yang dikerjakan
mengandung makna bahwa hidup harus tertuju sebagai ibadah kepada Allah semata.
Mengerjakan sa’i, yakni lari – lari kecil menggambarkan bahwa hidup tidak boleh
putus asa, terus mencoba. Dimulai dari Bukit Shafa yang artinya bersih dan
berakhir pada Bukit Marwa yang artinya berkembang. Dengan demikian, hidup ini
harus diisi dengan perjuangan yang didasarkan pada tujuan dan niat yang bersih
sehingga dapat memperoleh keberkahan. Sementara itu, wukuf di Arafah maksudnya
adalah saling mengenal sesama saudaranya dari berbagai belahan dunia. Demikian
pula, melontarkan jamarat dimaksudkan agar seseorang dapat membuang sifat –
sifat negatif yang ada dalam dirinya untuk diganti dengan sifat-sifat positif
dan mengenakan pakaian serba putih maksudnya agar seseorang mengutamakan
kesederhanaan, kesahajaan, dan serba bersih jiwanya sehingga tidak mengganggu
hubungannya dengan Tuhan.
Demikian
pula, kita membaca sejarah kehidupan para nabi terdahulu, maksudnya bukan
sekedar menjadi tontonan atau sekedar mengenalnya. Akan tetapi, bersamaan
dengan itu, perlu ada kemampuan menangkap makna filosofis yang terkandung di
belakang peristiwa tersebut. Kisah nabi Yusuf as yang digoda seorang perempuan
bangsawan, secara lahiriah menggambarkan kisah yang bertema pornografi atau
kecabulan. Kesimpulan itu terjadi manakala seseorang hanya memahami bentuk
lahiriah dari kisah tersebut. Akan tetapi, sebenarnya melalui kisah tersebut,
Tuhan ingin mengajarkan kepada manusia agar memiliki ketampanan lahiriah dan
bathiniah secara prima. Nabi Yusuf as telah menunjukkan kesanggupannya dengan
mengendalikan farjinya dari berbuat maksiat. Sementara secara lahiriah, ia
tampan dan menyenangkan orang yang melihatnya. Makna demikian dapat dijumpai
melalui pendekatan yang dapat bersifata filosofis. Dengan menggunakan
pendekatan filosofis ini, seseorang dapat member makna terhadap sesuatu yang
dijumpainya dan dapat pula menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung di
dalamnya. Dengan cara demikian, ketika seseorang mengerjakan suatu amal ibadah,
ia tidak akan merasakan kekeringan spiritual yang dapat menimbulkan kebosanan.
Semakin mampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama, maka semakin
meningkat pula sikap, penghayatan, dan daya spritualitas yang dimiliki seseorang.
Pendekatan
filosofis ini begitu penting dalam dunia pengetahuan, hal ini dapat kita jumpai
bahwa filsafat telah digunakan untuk memahami berbagai bidang lain selain
agama. Misalnya filsafat pendidikan, filsafat hokum Islam, filsafat kebudayaan,
filsafat ekonomi, dan lain – lain.
Melalui
pendekatan filosofis ini, seseorang tidak akan terjebak pada pengamalan agama
formalistik, yakni mengamalkan agama dengan susah payah, tetapi tidak memiliki
makna apa – apa, kosong tanpa arti. Yang mereka dapatkan dari pengalaman agama
tersebut hanyalah pengakuan formalistik. Misalnya sudah haji, sudah menunaikan
rukun Islam yang kelima dan berhenti sampai di situ. Mereka tidak dapat
merasakan nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.
Namun
demikian, pendekatan filosofis ini tidak berarti menafikan atau menyepelekan
bentuk pengalaman agama yang bersifat formal. Filsafat mempelajari segi bathin
yang bersifat esotrik. Bentuk atau kulit itulah yang disebut aspek esotrik dan
agama-agama dan manifestasinya dalam dunia ini menjadi religious sedangkan
kebenaran yang bersifat absolut, universal, dan metahistoris adalah Religion,
dan pada titik Religion inilah, titik persamaan yang sungguh-sungguh akan
dicapai.
Tampak
pandangan filsafat yang bercorak perenialis secara metologis memberikan harapan
segar terhadap dialog antara umat beragama. Sebab melalui metode ini sesame
umat beragama diharapkan menemukan transcendent unity or religion, dan dapat
mendiskusikan secara lebih mendalam. Dengan demikian, terbukalah kebenaran yang
hakiki. Lalu tersingkirlah kesesatan yang betul-betul sesat, meskipun tetap
dalam lingkup langit kerelatifan. Dalam kedua kebenaran dan kesesatan mungkin
saja terjadi pada sikap kita atau suatu kelompok tertentu yang seakan berada di
posisi paling atas sehingga mengklaim yang lain sebagai berada di bawah.
Pendekatan
filosofis yang bercorak perennialis ini, walaupun secara teoritis memberikan
harapan dan kesejukan, belum secara luas dipahami dan diterima, kecuali oleh
sekelompok kecil saja. Menurut Nasr, mengapa hanya oleh segelintir orang?
Jawabannya dapat dicari dalam hakikat filsafat perennial itu sendiri. Untuk
mengikuti aliran ini, seorang sarjana tidak cukup mengabdikan pikiran saja,
melainkan seluruh kehidupannya. Ia menuntut suatu penghayatan total, bukan
hanya sebatas studi akademis terhadap persoalan agama. Bagi aliran ini, studi
agama adalah aktivitas keagamaan itu sendiri, dan mempunyai makna keagamaan.
Semua studi agama hanya bermakna kalau ia memiliki makna keagamaan.
Islam
sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan akal pikiran sudah
dapat dipastikan sangat memerlukan pendekatan filosofis dalam memahami ajaran
agamanya, yang contoh-contohnya telah dikemukakan diatas. Namun demikian,
pendekatan seperti ini masih belum diterima terutama oleh kaum tradisionalis
formalistis yang cenderung memahami agama terbatas pada ketepatan melaksanakan
aturan-aturan formalistik dari pengalaman agama.
1.
Tinjauan
Al Qur’an tentang Filsafat.
Al-Qur’an
sejak semula telah memerintahkan umat manusia untuk menggunakan akalnya,
khususnya untuk menyingkap rahasia alam semesta yang akan menghantarkan manusia
kepada keyakinan tentang adanya Tuhan yang menciptakan dan memeliharanya.
Keyakinan kepada adanya Tuhan harus didasarkan atas kesadaran akal, bukan
sekedar keasadaran yang bersifat teradisional yakni melestarikan warisan nenek
moyang betapapun corak dan konsepnya.
Siapa
saja yang meneliti sejarah Islam dengan berbagai sumber dari Al-Qur’an dan
Sunnah, qiyas syar’I, Ijma’ yang diakui, ijtihad dan tafsir yang benar yang
dibuat ulama-ulama kita yang saleh sepanjang zaman, akan terdapat pada setiap
hal itu akan membentuk fikiran yang menyeluruh dan berpadu tentang alam jagat,
manusia, masyarakat dan bangsa, pengetahuan kemanusiaan, dan akhlak. Mungkin
tidak dapat hal itu membentuknya sifat universal dan berpadui ini jika
dicarinya pada falsafah-falsafah ciptaan manusia, baik yang lama atau baru.
Selain itu orang yang mengkaji tentang Islam pada berbagai sumbernya dengan
kesadaran dan mendalam akan keluar dengan pikiran universal dan berpadu tentang
falsafah wujud, falsafah pengetahuan, dan falsafah nilai-nilai.
Akal
adalah potensi luar biasa yang dianugerahkan Allah kepada manusia, karena
dengan akalnya manusia memperoleh pengetahuan tentang berbagai hal. Sangat
banyak ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia menggunakan akalnya untuk
berpikir. Memikirkan alam semesta, memikirkan diri sendiri, memikirkan pranata
atau lembaga-lembaga social, dan lain sebagainya dengan tujuan agar perjalanan
hidup di dunia dapat ditempuh setepat-tepatnya sesuai dengan kedudukan manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah yang akan kembali kepadaNya serta memetik hasil
tanaman amal perbuatannya sendiri di dunia baik sebagai abdi maupun sebagai
khalifah-Nya di bumi.
Beberapa
contoh ayat Al-Qur’an yang memerintahkan manusia berpikir tentang alam, diri
sendiri, umat terdahulu dan pranata social.
a. Berpikir tentang alam.
Dalam
surat Ali Imran (3) ayat 190, Allah berfirman:
190.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
b. Berpikir tentang diri sendiri.
Dalam
surat Ar-Rum(30) ayat 8 , Allah berfirman:
8.
Dan Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak
menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan
(tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di
antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.
c. Berpikir tentang umat terdahulu.
Dalam
surat Al Mukmin/Al Ghafir (40) ayat 21, Allah berfirman:
21.
Dan apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, lalu memperhatikan
betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. mereka itu adalah lebih hebat
kekuatannya daripada mereka dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka
bumi[1319], Maka Allah mengazab mereka disebabkan dosa-dosa mereka. dan mereka
tidak mempunyai seorang pelindung dari azab Allah.
[1319]
Maksudnya: bangunan, alat perlengkapan, benteng-benteng dan istana-istana.
d. Berpikir tentang pranata
(lembaga).
Dalam
surat Ar-Rum(30) ayat 21, Allah berfirman:
21.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.
2. Filosof – filosof muslim.
Adapun
nama – nama filosof muslim yang terkenal adalah sebagai berikut:
a.
Al Kindi merupakan filosof muslim pertama pada pertengahan abad IX M / abad III
H.
b.
Al Farabi, Ibnu Sina, menulis dalam "al-Isharat" bahwa,
"Filsafat latihan intelek, memungkinkan manusia untuk mengetahui Menjadi
seperti yang dalam dirinya sendiri. Ini merupakan kewajiban manusia untuk
melakukan hal ini dengan latihan intelek nya, sehingga ia dapat memuliakan
jiwanya dan membuatnya sempurna, dan mungkin menjadi ilmuwan rasional, dan
mendapatkan kapasitas kebahagiaan abadi di akhirat." Pada zaman inilah
merupakan puncak kejayaan filsafat Islam.
c.
Ibnu Rusyd, sekitar abad ke XII M. pada masa ini terjadi polemic antara Ibunu
Rusyd dengan Al Ghazali, perhatian orang terhadap filsafat makin berkurang di
kalangan sunni.
d.
Mulla Sadra seorang filosof yang lahir dari kalangan syiah pada 1640 M/1050H.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Pengertian filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal dan
universal dalam rangka mencari kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai
segala sesuatu yang ada.
2.
Islam di tinjau dari aspek Filsafat, menyangkut tentang pendalaman secara
mendalam, sistematik, radikal untuk mencari kebenaran ajaran Islam yang
berkaitan dengan rukun Islam, Rukun Iman, serta hubungan antara ma.nusia dengan
Allah, Manusia dan alam sekitarnya.
3.
Tokoh tokoh yang membahas ilmu filsafat yang dikaitkan dengan ajaran Islam yang
bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits. Adapun filosof yang terkenalm di dunia
Islam adalah Al Faraby, Ibnu Rusydi, Ibnu Sina, dan terakhir yaitu Mulia Sadra.
Demikian
makalah ini semoga dapat bermanfaat bagi kita dalam mempelajari Ilmu
pengetahuan melalui Mata Kuliah Metode Studi Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin
Nata,MA,Dr.Prof.H,Metodologi Studi Islam,Edisi Rev Rivisi, Rajawali Press,
Jakarta, 2010.
Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Dipenogoro, 2007.
Dewan
Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta,
2001.
Louis
O.Kattsof, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, dari judul asli
Element of Philosophy, Tiara Wacana, Yokyakarta, 1989.
Mohammad
Daud Ali, SH,H,Prof, Pendidikan Agama Islam, Rajawali Pers, 2008.
Omar
Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany, Prof.Dr, Falsafah Pendidikan Islam, Bulan
Bintang, 1983.
Rosihan
Anwar, dkk, Pengantar Studi Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2009.
Sidi
Gazalba, Sistematika Filsafat, Jilid I, Bulan Bintang, Jakarta, 1976
Tidak ada komentar:
Posting Komentar