BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Menuntut ilmu itu wajib, bagi kaum muslimin dan
muslimat. Itu yang disabdakan oleh Rosul. Benar adanya, namun tidak menutup
kewajiban umat non – muslim, mereka juga dituntut akan itu. Menuntut ilmu bukan
hanya karena hukum wajib, namun merupakan kebutuhan manusia untuk memenuhi
kebutuhan yang semakin meningkat dan pernyesuaian peradaban yang yang semakin
canggih, maka diperlukan ilmu dalam segala hal.
Disini penulis tidak membahas wajib atau tidaknya
menuntut ilmu, apakah wajib buat orang islam atau juga non-islam. Lupakan
semua. Penulis akan mencoba menguraikan tentang hukum perkawinan menurut Undang
– undang di Indonesia yaittu KUHPer ( BW ). Yang sudah dikenal oleh banyak
orang khususnya bagi orang – orang yang bergerak dibidangnya.
Perkawinan, siapa orang yang tidak pernah mendengar
kata itu. Mustahil sepertinya jika ada orang yang belum pernah mendengarnya.
Sekian banyak orang menikah, namum kebanyakan belum mengerti hukum yang
mengatur tentang pernikahan. Kemudian sering terjadi perceraian yang semakin
marak dan bukan pemandangan aneh bagi masyarakat jika terjadi perceraian.
Perlunya pengetahuan tentang hukum dan hak yang ada dalam perkawinan agar
meminimalis angka perceraian, namun jika pelaku hukum tak mengerti. Wallahu
a’lam.
Banyak Universitas yang mempunyai Fakultas Hukum
Perdata dan yang pasti membahas tentang perkawinan, disana telah banyak
meluluskan Sarjana-sarjana ahli Hukum Perdata. Demikian Sekolah- sekolah yang
lain, meski bukan Fakultas, namun ada study tersebut. Namun masih banyak yang
tidak mengamalkan ilmu yang mereka miliki.
II. Rumusan Masalah
Pengetahuan tentang hukum perdata tidak lah semua
orang tau, perlu di kembangkan sebuah metode pembelajaran dengan
men-sosialisasikan hukum tersebut. Banyaknya kejadian yang tidak searah dengan
hukum perdata tentang perkawinan di kalangan masyarakat. Seperti pernikahan
usia dini, pernikahan adapt, dan pernikahan yang tidak mengikuti hukum yang
berlaku di Negara tercinta ini.
Pernikahan yang melanggar hukum tidak tercantum dalam
daftar nama perkawinan Negara membuat pemerintah merasa kurang efektif dalam
menerapkannya. Namun menurut mereka itu lebih efektif, karena tidak perlu
memerlukan biaya yang lebih dan tidak lebih repot. Tanpa sepengetahuan pemerintah
meraka menikah sirih atau yang lain, kemudian mereka bercerai. Dan hal lain
seperti permasalahan kekerasan dalam rumah tangga dan sejenisny. Itu semua
tidak dapat diajukan dalam hukum, karena tidak terdaftar dalam buku pemerintah,
dan sedikit membuat repot pemerintah.
BAB II
HUKUM PERDATA
1. Pengertian
Hukum Perdata
Hukum adalah undang – undang / peraturan tertulis atau tidak tertulis yang
mengatur dan memiliki sanksi bagi pelanggar huku. Hukum Perdata yaitu suatu
undang – undang atau hukum yang mempelajari serta mengatur tentang hak dan
kewajiban stiap subjek hokum ( manusia ) dan mengatur hubungan antara subjek
hokum satu dengan subjek hokum yang lain, bias disebut juga Hukum Privat /
Personal. Hukum perdata sendiri mempunyai beberapa aspek yang tidak bias lepas,
yaitu :
a.
Pengaturan Hukum
b.
Subjek Hukum, dan
c.
Hubungan Hukum.
Sedangkan hokum public atau pidana yaitu suatu undang – undang hokum yang
mempelajari dan mengatur tentang hak dan kewajiban orang banyak ( masyarakat ).
Seperti hokum Adminitrasi Negara. Menyangkut hukum public, berarti menyangkut
hukum Nasional, hukum ini mengatur tentang ketatanegaraan diIndonesia. Criteria
hukum Nasional adalah :
a.
Hukum yang berasal dari
Negara sendiri ( Indonesia ),
b.
Hukum tidak terlepas
dari budaya asli ( Indonesia ),
c.
Harus merupakan produk
pembentuk Undang – undang,
d.
Berlaku untuk semua
warga Negara ( Indonesia ),
e.
Berlaku untuk seluruh
daerah / wilayah Negara ( Indonesia ),
f.
Untuk Hukum Perdaata
Nasional, harus sesuai dengan nilai Pancasila,
g.
Hukum Perdata Nasional
harus merupakan produk dari Undang – undang,
h.
Dibuatnya Undang –
undang harus setelah kemerdekaan.
Timbulnya hukum itu sendiri muncul dianggap penting karena manusia hidup
bermasyarakat. Tidak menutup kemungkinan terjadinya sengketa antara masayarakat
yang ada di suatu Negara. Hukum / undang – undang muncul untuk mengatur
tentang hak dan kewajiban manusia dalam bermasyarakat dan bagaimana cara
mempertahankan hak dan kewajiban mereka agar selalu terjaga dari kesewenang – wenangan.
2. Pembagian
Hukum Perdata
Hukum Perdata mempunyai dua pembagian, yaitu
a.
Hukum Perdata Meterial
dan
b.
Hukum Perdata Formal
Sedangkan meurut Pengetahuan, hukum dibagi menjadi 4 ( empat ), yaitu :
a.
Hukum tentang Uang
b.
Hukum tentang
kekeluargaan, perkawinan,
c.
Hukum tentang
kebendaan,
d.
Hukum tentang waris.
3. Isi
KUHPer
Dalam KUHPer ( Kitab Undang – undang Hukum Perdata ) yang disebut juga BW (
Brogetjk Wetbok ) yaitu buku undang – undang buatan Belanda yang berasal dari
Code Napolion di Prancis, sedangkan prancis sendiri mengadopsinya dari buku
hukum Romawi. Yang kemudian di sah kan di Indonesia pada
tahun 1859.
Didalam Buku KUHPer, terdapat 4 bab buku peraturan, yaitu :
a.
Buku Pertama yaitu
mengatur tentang perorangan dan kekeluargaan, ( UU No. 1 Tentang Perkawinan )
Stiap subjek hukum / manusia pastilah mempunyai pasangan masing – masing
dan berkeinginan untuk menikah, dalam buku satu terdapat undang – undang yang
mengaturnya, seperti undang – undang siapa saja yang boleh dinikah dan yang tidak
boleh, dan undang – undang dalam rumah tangga. Selebihnya akan dijelaskan
dibawah.
b.
Buku yang kedua yaitu
mengatur tentang hukum benda yang dimiliki oleh subjek hukum tentang benda yang
dimiliki, yaitu berupa benda berwujud ( benda bergerak dan benda tidak bergerak
) dan benda tidak berwujud ( Saham, hutang, deposito ),
Harta yang dimiliki oleh subjek hukum agar tidak salah dalam penggunaanya,
maka undang – undang ini mengaturnya, seperti hak dan kewajiban pemilik saham,
serta pemanfaatan benda – benda yang dimiliki oleh subjek hukum.
c.
Buku yang ketiga yaitu
mengatur tentang hukum perjanjian antara subjek hukum satu dengan subjek hukum
yang lain, seperti perjanjian dagang, jual – beli dan sebagainya,
Banyak terjadi perselisihan, pertikaian bahkan sampai pertumpahan darah.
Sering terjadi dalam bab ini. Buku ke empat ini mengatur semua tentang jual –
beli dan sejenisnya dengan baik, namun jika masih terjadi kasus dalam
jual – beli, berarti subjek hukum tidak menggunakan undang – undang yang
terdapat dalam Buku KUHPer ke empat ini.
d.
Buku yang ke empat
yaitu mengatur tentang daluarsa dan pembuktian suatu benda bahwa benda itu
meilik seorang subjek hukum yang sah. ( akte, Nota, surat tanah, dll
).
Kepemilikan sebuah benda haruslah dapat dibuktikan dengan sebuah surat keterangan
kepemilikan atau sejenisnya, sehingga memperkuat dan membenarkan bahwa benda
tersebut adalah milik satu subjek hukum yang sah. Namun jika subjek hukum tidak
bias menunjukan bukti yang memadai, maka benda tersebut manjadi milik Negara dan
akan diurus sesuai undang – undang.
4. Sumber
hukum Perdata
Arti sumber Hukum Perdata adalah asal mula terbentuknya Hukum Perdata atau
tempat dimana Hukum Perdata ditemukan. Asal mula menunjukan pada sejarah
pembentukannya sedangkan tempat menunjukan rumusan – rumusan yang dapat dibaca.
Sumber Hukum ada 2, yaitu :
a.
Sumber hukum dalam arti
formal.
Sejarah asal Hukum Perdata yaitu Hukum Perdata buatan pemerintah Kolonial
Belanda yang terhimpun dalam KUHPer ( BW ).
Berlakunya BW berdasarkan aturan peralihan UUD 1945 yang menyatakan
KUHPer/BW tetap berlaku sepanjang belum diganti denga Undang – undang baru yang
berdasarkan UUD 1945, dan sumber pembentuknya adalah UUD 1945.
b.
Sumber hukum dalam arti
material
Sumber ini menunjukan tempat yang dirumuskan dalam ketentuan Undang –
undang Hukum Perdata yang dapat dibaca.Hukum Perdata yang mengatur tentang hak
dan kewajiban individual dalam bermasyarakat terdapat dalam Kuhper material.
Sedangkan undang – undang / hukum yang mengatur tentang melaksanakan dan atau
mempertahankan hak dan kewajiban terdapat dalam Undang – undang KUHPer Formil.
Dalam mengatur hidup bermasyarakat, manusia adalah sentral penggerak
kehidupan masyarakat, karena sudah jelas ia adalah pendukung atau pelaku
langsung hak dan kewajiban. Dengan demikian, Hukum Perdata Material pertama
kali menentukan siapakah orang – orang yang disebut pelaku hukum.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna diantara makhluk
ciptaan – Nya yang lain, dan dijadikan atas jenis kelamin yang berbeda yaitu
pria dan wanita. Sesuai dengan kodratnya, manusia diciptakan berpasang –
pasangan dan memnjalin hubungan hidup dengan ikatan dan membentuk suatu
keluarga. Yang kemudian diatur oleh undang – undang yang terangkum dalam Undang
–undang Perkawinan.
1. Hukum
Perdata Tentang Perkawinan.
Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki – laki dengan
seorang perempuan untuk jangka waktu yang lama. Undang-undang memandang
perkawinan hanya dari hubungan keperdataan sebagaimana disebutkan dalam KUHPer
pasal 26.
Pasal tersebut menyatakan bahwa suatu perkawinan yang sah hanyalah
perkawinan yang memenuhi syarat – syarat dan metentuan yang di tentukan dalam
KUHPer dan mengenyapingkan peraturan agama, seperti dikatanan dalam BW, bahwa
poligami dilarang. Dalam pengertian, apa bila dilanggar akan mendapat
pembatalan perkawinan.
Beberapa syarat perkawinan dalam Hukum Perdata yang wajib dipenuhi, yaitu :
a. Calon suami dan istri harus mencapai usia yang
ditentukan ( laki – laki 18 tahun, perempuan 15 tahun ),
Batas usia minimal ini sering menjadi tolak ukur pernikahan. Dalam
masyarakat umum, sering terjadi pernikahan dini antara kedua calon mempelai.
Demikian terjadi sangatlah rawan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga,
dikarenakan dalam usia tersebut, emosi dan tekanan masing – masing masih
sangatlah labil.
b. Harus ada kebasan / tidak ada halangan antara
kedua mempelai untuk menikah.
Dalam arti, kedua mempelai tidak terikat dengan pernikahan yang lain dengan
waktu yang sama, atau kedua mempelai tidak mempunyai ikatan pernikahan dengan
orang lain, kecuali atas izinnya. Bias juga diartikan, kedua mempelai tidak
terikat dengan suatu hal yang memberatkan terjadinya perkawinan.
c. Untuk anak dibawah usia tidak diperbolehkan
menikah, kecuali atas izin kedua orang tua masing – masing mempelai sebelum
berumur 30 tahun.
Hal ini hamper sama dengan poin pertama, yaitu larangan menikah dalam usia
dibawah umur. Namun jika sudah ada peretujuan dari orang tua kedua mempelai,
maka selanjutnya adalah tanggung jawab orang tua.
d.Tidak boleh melakukan perkawinan saudara sedarah
maupun saudara tiri.
Perkawinan sedrah juga dilarang opleh agama Islam, karena bias merusak
garis keturunan dan menyalahi aturan agama.
Yang pasti kedua orang tua sudah mengijinkan perkawinan itu terjadi,
perizinan ini penting karena orang tua mempunyai hak pennuh atas anak – anak
mereka. Dan bahkan perkawinan dapat dibatalkan karena hal – hal yang terjadi,
baik dari pihak suami maupun istri. Orang – orang yang berhak membatalkan
perkawinan adalah :
Ø Suami atau Istri
Jika suami atau istri mempunyai alas an yang kuat seperti suami atau istri
tidak sesuai dengan yang diinginkan, atau terdapat kesalahan atau peksaan
perkawinan. Hal ini sering dapat terjadi karena perjodohan dari orang tua atau
suami atau istri mengalami cacat.
Ø Anak,
Anak pun mempunyai hak untuk membatalkan perkawinan yang nakan dilancarkan
oleh orang tuanya,
Ø Orang Tua
Dalam hal ini tidak bias dipungkiri, karena orang tua adalah tempat keramat
bagi anak – anak nya.
Ø Jaksa
Jaksa dapat membatalkan perkawinan jika kedua mempelai tidak memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan dalam KUHPer. Juga dapat terjadi jika salah
satu mempelai terkait kasus yang melibatkan pihak kepolisian dan atau pihak
lain yang memberatkan terjadinya perkawinan.
Dalam pasal 32 menyebutkan bahwasannya batalnya perkawinan disebabkan hal –
hal sebagai berikut :
1) Kematian – cerai mati,
2) Perceraian,
3) Keputusan pengadilan.
2. Perkawinan
Menurut Undang – undang No. 1 Tahun 1974
Perkawinan Menurut Undang – undang No. I tahun 1974, perkawinan dapat
dibatalkan atas persetujuan kedua mempelai, kemudian yang belum berumur 21
tahun, harus mndapat izin dari orang tua yang masih hidup dan mampu untuk
menyatakan kehendaknya. Kemudian diperjelas pihak - pihak yang dapat
membatalkan perkawinan adalah :
a.
Keluaraga
b.
Suami – Istri
c.
Pejabat yang berwenang
d.
Pejabat yang ditunjuk,
mempunyai kuasa atasnya.
3. Akibat
adanya Perrkawinan.
Akibat adalah timbal balik dari satu perbuatan yang sudah dilakukan. Dalam
hal perkawinan, akibat yang timbul tergantung pada sah dan tidaknya perkawinan.
Menurut Undang- undang No. 1 tahun 1974, yang menjadi syarat sah nya perkawinan
diantaranya :
1) Persetujuan calon mempelai pria dan
wanita,
2) Seorang calon mempelai pria minimal
berusia 19 tahun, dan untuk wanita minimal 16 tahun. Namun jika mereka belum
mencapai usia 21 tahun, maka ia harus izin ke pengadilan, karena sebelum umur
21 tahun, belum dianggap cakap bertindak hukum,
3) Harus ada tugas dari orang tua, atau
pengadilan,
4) Tidak terikat denga perkawinan yang
lain, jika masih dalam ikatan perkawinan, harus mendapat izin dari istri atau
pengadilan,
5) Belum pernah bercerai untuk yang ke
dua kali dengan orang yang sama,
6) Calon istri telah melewati masa
iddah,
7) Ada pemberitahuan untuk menikah
pada BPN,
8) Tidak ada yang mengajukan pencegahan,
9) Tidak ada larangan untuk menikah.
Setalah perkawinan terjadi dan sah menurut pengadilan agama, maka akibat
dari perkawinan tersebut adalah :
a) adanya hubungan antara wali dan anak,
dan
b) Adanya hubungan antara suami dan
istri
Namun jika pengadilan agama atau KUA menyatakan perkawinan tersebut tidk
sah, maka akibatnya adalah sebakliknya dari tersebut diatas, yaitu :
a) Tidak ada hubungan antara anak dan
wali,
b) Tidak ada hubungan antara suami dan
istri.
4. Perceraian
Perceraian adalah perpisahan ( putusnya ) hubungan suami istri yang sah
yang dilakukan oleh seorang suami kepada istri, atau pengajuan istri kepada
suami untuk dilaksanakan perceraian melaluo Kantor Urusan Agama ( KUA ).
a. Cerai
Gugat
Yaitu cerai yang diajukan oleh penggugat ( istri ) kepada suami, karena
beberapa hal yang tidak dapat dipenuhi oleh sang suami pada sang istri,
kemudian sang istri menuntut ny dan sang suami tidak mampu untuk melakukannya.
Maka sang istri boleh mengajukan gugatan. Atau perkara lain seperti kekerasan
dalam rumah tangga, atau sang suami pergi tak kembali. Cerai gugat adalah cerai
yang diajukan oleh penggugat di pengadilan agama tempat tinggal penggugat,
Perceraian tipe ini masih jarang terjadi, karena kebanyakan istri tidak
cukup berani untuk melakukan gugatan pada sang suami, dan istri cenderung
pasrah menerima suaminya apa adanya.
b. Cerai
talak
Cerai talak yaitu perceraian yang diajukan oleh suami pada istri. Kasus ini
terjadi karena beberapa hal, seperti sang istri tidak bias memuaskan jasmani
suami, istri tidak menuruti suami hingga dalam hal baik, atau bias juga karena
perselingkuhan yang dilakukan oleh istri.
Banyak hal yang menyebabkan perceraian, baik cerai gugat maupun cerai
talak. Karena normalnya manusia seperti apapun yang dia punya masih merasa
kurang, punya satu ingin dua, punya dua ingin tiga dan seterusnya. Dalam setiap
pertemuan pasti ada perpisahan, sama halnya dengen perkawinan. Jika ada
perkawinan, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya perceraian, perpisahan
dan sejenisnya yang merusak ikatan suami istri.
5. Akibat
perceraian
Dalam pernikahan yang menimbulkan terjadinya perceraian, maka dalam setiap
perceraian mempunyai efek samping tersendiri, ada efek yang positif, namun juga
ada efek samping yang negative yang timbul. Banyak hal yang terjadi jika
perceraian itu terjadi, penulis tidak mampu untuk menggambarkannya, namun
penulis akan mencoba sedikit mengupas.
Akibat positif yang terjadi karena perceraian merupakan suatu hal yang
memjadi pembelajaran bagi kedua belah pihak dan anak yang menjadi korban, orang
bilang. Jika anak tersebut sudah mengerti dan sudah dewasa maka bukan jadi
masalah perceraian itu terjadi bagi sang anak. Hanya saja sang anak mungkin
merasa kurang kasih sayang kedua orang tua, itu yang terjadi pada umumnya.
Akibat positif yang terjadi akibat perceraian yaitu :
Ø
Suami atau istri akan
lebih berhati – hati dalam memilih pasangan hidup,
Ø
Suami atau istri
mendapat satu kepuasan telah mendapat jalan keluar dalam permasalahan selama
berumah tangga dengannya, meski bukan jalan terbaik,
Ø
Wawasan anak semakin
luas, pembelajaran yang tidak ada di bangku study dia dapatkan dengan Cuma –
Cuma,
Kemudian akibat perceraian yang negative, hal ini sering terjadi dan banyak
yang terjadi ketika perceraian itu menjadi kenyataan. Mimpi buruk yang menjadi
nyata telah datang, dunia serasa hancur tak ada lagi harapan untuk bahagia. Hal
– hal yang biasanya terjadi adalah :
Ø
Frustasi dari pihak
yang tidak menerima perceraian,
Ø
Menyepelekan urusan
nikah dan cerai, karena merasa sudah berpengalaman,
Ø
Hilangnya kasih sayang
yang didapat oleh anak dari kedua orang tua,
Ø
Hubungan antara mantan
suami, mantan istri dan anak semakin ranggang,
Ø
Putusnya tali
persaudaraan,
Ø
Anak menjadi korban,
yang membuat anak tak peduli pada kedua orang tuanya.
Ø
Dan masih banyak lagi
yang memberi dampak negative dari perceraian.
Fenomena perceraian ini banyak terjadi dilakalangan masyarakat, karena
perkawinan yang dilakukan dengan usia dini atau hal lain yang membuat
perceraian. Dipandang mudah mengajukan perceraian dan perkawinan, sehingga hal
ini menjadi permainan pada kalangan masyarakat yang kurang bertanggung jawab.
1. Pertalian
Persaudaraan/kekeluargaan
Dalam hal ini sangat erat kaitannya antara hubungan keluarga dan hubungan
darah. Hubungan keluarga dan hubungan darah adalah dua pengertian yang berbeda,
dimana hubungan keluarga adalah hubungan dalam satu keluarga yang terjadi
karena hubungan perkawinan dan hubungan darah. Namun hubungan darah merupakan
hubungan keluarga dari keturunan yang sama, atau hasil dari perkawinan.
Hubungan keluarga karena perkawinan disebut semenda, hubungan
anak antara ayah dan ibu disebuthubungan tingkat. Hubungan keturunan
hanya memberikan keistimewaan tertentu dalam keluarga, yaitu :
a.
Patsiliniel
Yaitu hubungan darah yang mengutamakan garis keturunan bapak
b.
Materiliniel
Yaitu hubungan darah yang mengutamakan garis keturunan Ibu
c.
Parental Bilateral
Yaitu hubungan darah yang mengutamakan garis keturunan orang tua, artinya
gabungan dari poin a dan b.
Anak merupakan bagian dari hasil perkawinan antara laki – laki dan
perempuan. Anak sah adalah anak yang lahir dari perkawinan yang sah. Kemudian
anak tidak sah adalah anak yang lahir diluar perkawinan yang sah, yang
hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibunya atau keluarga ibunya.
Dalam pertalian persaudaraan atau hubungan darah erat kaitannya dengan
perkawinan, pembagian waris. Namun penulis tidak mengurai tentang hal berikut.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Setelah itu penulis menyimpulkan, bahwa setiap hukum perundang – undangn
memiliki aspek tertentu, dalam perkawinan, perlunya lapor pada pengadilan agama
atau KUA yang bersangkutan, untuk mmbenarkan tindakanny dan memberi keabsahan
dalam Negara untuk melakukan suatu perkawinan. Dalam setiap perkawinan harus
memenuhi syarat yang tercantum dalam KUHPer tentang perkawinan, jika tidak maka
perkawinan itu batal.
Setiap perkawinan sering terjadi perceraian. Perceraian yang berakibat
fatal terhadap kelangsungan mental sang buah hati.
2. Penutup
Dan akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang
mendukungnya. Harapan penulis agar karya ini dapat berguna dikemudian hari.
Amin.
Penulis mohon maaf jika terdapat kesalahan atau pernyataan yang kurang
benar dalam makalah ini, karna manusia tempatnya salah dan lupa, namun penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna penyempurnaan pada
karya ilmiah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Study Pengantar Hukum Perdata. Semester II Perbankan
Syari’ah. STAI YASBA KALIANDA. Tahun Akademik
2010/2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar