BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam
era yang semuanya didasarkan kepada realita ilmiah, ritual ibadah haji mendesak
untuk dimaknai dengan pengertian-pengertian realistis yang semakin memperkuat
keyakinan umat Islam, bahwa haji sebagai tiang Islam yang teramat urgen.
Urgensi ini dimaksudkan untuk menandingi sebagian pemeo yang menyatakan bahwa
haji tak memiliki relevansi terhadap realitas kekinian.
Untuk
membicarakan masalah ibadah haji dalam hubungannya dengan perubahan-perubahan
apa yang terjadi dalam perilaku bagi setiap muslim yang telah menunaikan ibadah
haji, setidaknya kita buka kembali kepada suatu tarikh Islam, dimana suatu saat
ada seorang sahabat Nabi Muhammad saw mempertanyakan mengenai amalan apa dan
bentuk jihad bagaimana yang paling istimewa di hadapan Allah Azza Wa Jalla,
beliau menjawab yaitu hajjun mabrurun, atau yang lazim kita sebut haji mabrur.
Guna
mengetahui dan memahami alasan tentang mengapa haji yang mabrur merupakan
bentuk amalan dan jihad yang istimewa dalam Islam, dapat kita pelajari dari
segi pelaksanaan ibadah haji itu sendiri yang sarat dengan simbol-simbol dan
penuh makna serta mendatangkan berbagai manfaat yang positif di kemudian hari,
baik manfaat atau pengaruh dalam aspek perubahan perilaku diri, aktivitas
sosial keagamaan, politis, ekonomi dan sebagainya.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
saja makna social ibadah haji ?
2. Makna
apa saja dibalik ritual ibadah haji ?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
MAKNA
HAJI DALAM KEHIDUPAN SOSIAL
Ibadah
atau ritual haji sebenarnya tidak serta-merta hanya menggugurkan kewajiban
seorang Muslim sebagai umat beragama Islam saja. Tidak pula umat Islam hanya
berziarah ke tempat sakral secara spiritual dan syari'at, ataupun sekadar
melaksanakan ajaran agama, apalagi hanya bermakna tamasya. Disisi lain,
kebermaknaan haji sebenarnya juga terdapat nilai-nilai sosial yang luhur dan
mulia.
Ibadah
haji itu tidak hanya menghubungkan manusia dengan agama atau Tuhannya saja,
melainkan juga manusia dengan manusia yang lainnya. Oleh karena itu, ibadah
haji memiliki dua garis penghubung kemanusiaan, yakni garis vertikal dan
horizontal. Garis vertikal, ibadah haji dipandang secara normatif, yakni
hubungan manusia dengan Tuhannya. Sementara garis horizontal, ibadah haji
dipandang dari sisi sosial manusia sebagai makhluk sosial di dunia ini, yakni
hubungan di antara manusia umumnya dan umat Islam khususnya.
Ibadah
haji secara normatif merupakan kewajiban seseorang sebagai umat Islam untuk
mendapatkan pahala, dan menjalankan perintah agama. Akan tetapi, dipandang dari
segi sosial, makna haji tidak mengedepankan normativitas.
Di
antara makna sosial haji sebagai nilai-nilai sosial yang menghubungkan antara
manusia dan manusia lainnya sebagai makhluk sosial adalah, pertama, penyadaran
akan adanya pluralitas umat Islam. Umat Islam hingga sampai saat ini telah
tersebar di berbagai negara dan belahan dunia. Mulai dari negara paling Barat
hingga paling Timur. Tentunya, di antara umat Islam tersebut sangat memiliki
perbedaan dalam keberagamaannya. Mulai dari yang beraliran syi'ah maupun
sunnah, orang kulit hitam maupun putih, mazhab yang paling liberal dan mazhab
yang paling fundamental, aliran kiri maupun kanan, dan lain sebagainya.
Karena
berbagai perbedaan tersebut, umat Islam harus sadar bahwa pluralitas umat Islam
itu tidak bisa dihindari. Karena, berbagai hal yang mendasari adanya perbedaan,
antara lain, adat-budaya, pemahaman keislaman, tingkat intelektualitas, bahasa,
dan lain sebagainya. Dengan demikian, pluralitas umat Islam tersebut menjadi
sebuah realitas yang niscaya ada.
Meski
demikian, pluralitas dan multikulturalisme umat Islam tersebut disatukan dengan
lafaz "labbaika Allahumma labbaik…" yang diserukan
ketika melaksanakan ibadah haji. Dengan demikian, makna sosial haji yang kedua
adalah persatuan dan persamaan.
John
L Esposito, salah seorang penafsir Islam yang paling berotoritas di Amerika,
dalam bukunya yang berjudul The Future of Islam memandang ibadah haji;
sebagaimana semua Muslim disatukan lima kali sehari saat mereka shalat
menghadapkan wajah ke arah Mekkah, tempat kelahiran Nabi Muhammad, begitu pula
setiap tahun lebih dari dua juta umat Muslim dari seluruh dunia berdatangan ke
Kota Suci ini untuk menjalankan rukun Islam yang kelima.
Esposito
menyadari bahwa pluralitas Islam tersebut disatukan dan mereka tidak merasa
berbeda secara spiritual dan sosial. Saat berhaji, pria dan wanita menjalankan
ritual bersama. Tidak ada perbedaan gender di tempat tersuci ini. Dengan
mengenakan pakaian sederhana yang melambangkan kesucian, persatuan, dan
kesetaraan, mereka menghidupkan kembali peristiwa-peristiwa besar keagamaan.
(John L Esposito)
Malcom
X juga menyatakan bahwa; ada duapuluh ribu jamaah haji dari seluruh dunia.
Mereka terdiri dari berbagai warna kulit, dari si pirang bermata biru sampai si
hitam dari Afrika. Namun, mereka semua mengikuti ritual yang sama,
memperlihatkan semangat kebersamaan dan pesaudaraan yang tidak akan pernah
terjadi di antara kulit putih dan bukan kulit putih (selain pada ibadah haji).
Malcom X menyatakan seperti itu karena ketika itu, di Amerika, tempatnya
berdomisili terjadi diskriminasi ras antara kulit hitam dan kulit putih.
Sementara diskriminasi tersebut tidak terjadi ketika ibadah haji.
Refleksi
Di
sisi lain, dunia Islam sekarang sedang terjadi berbagai konflik. Gejolak
reformasi dan revolusi di berbagai negara Islam (Timur Tengah), konflik yang
terjadi di dunia Islam antara Sunni dan Syi'i, konflik umat baik di bidang
ekonomi, sosial, dan politik, serta berbagai hal penistaan Islam telah
memecah-belah umat Islam di dunia. Sebenarnya, ibadah haji bisa dijadikan
refleksi persatuan dan persamaan umat Islam seluruh dunia.
Ibadah
haji yang ketika pelaksanaannya terkumpul umat Islam dari berbagai belahan
dunia, seharusnya menjadi pelajaran berharga bagi umat Islam. Dalam ritual
ibadah haji, seluruh jamaah haji yang beragam tersebut melakukan ibadah yang
sama. Mereka tidak saling memusuhi antara yang satu dan yang lainnya. Begitu
pula yang diharapkan terjadi pada dunia Islam akhir-akhir ini karena Islam
sebenarnya adalah agama kasih sayang.
Dewasa
ini, perkembangan zaman telah membawa Islam menjadi multiwajah. Meski demikian,
melihat ritual atau manasik haji, multiwajah Islam tidaklah menjadi hal yang
rumit untuk dihadapi menuju persatuan, toleransi, persamaan, dan rasa saling
kasih sayang. Dengan demikian, ibadah haji merupakan refleksi nilai-nilai
sosial yang luhur dan mulia bagi umat Islam di seluruh dunia. Alangkah indahnya
jika umat Islam di dunia ini menjadi simbol perdamaian dunia, mengedepankan
sikap kasih sayang dan menafikan kebrutalan.
B.
Makna
Ritual-Ritual Ibadah Haji
Menurut
Ali Syari'ati, pakaian adalah lambang status yang dapat memicu sikap
diskriminasi, keakuan, dan keegoisan. Pakaian telah memecah belah anak-anak
keturunan Adam, karena itu, kata Ali Syari'ati, pakaian model ibadah ihram bukanlah
penghinaan tetapi penggambaran kualitas manusia di hadapan Tuhan. Pakaian ihrom
telah menuntun manusia untuk mengubur pandangan yang mengukur keunggulan karena
kelas, status, kedudukan, dan ras.
Thowaf
merupakan kegiatan ibadah mengelilingi Kabah. Di hadapan Ka'bah yang berbentuk
kubus ini, kata Ali Syari'ati, para pelaku thowaf akan merenungkan keunikan
Ka'bah yang menghadap ke segala arah, yang melambangkan universalitas dan
kemutlakan Tuhan; suatu sifat Tuhan yang tidak berpihak tetapi merahmati seluruh
alam (Q. S. 106: 21). Dengan thowaf, umat manusia dididik aktif bergaul
menjaring komunikasi dengan Tuhan dan antar manusia (Q. S. 112: 2).
Berbicara
mengenai sa'i, Ali Syari'ati melambangkan sa'i dengan kegigihan dan keperkasaan
manusia dalam menempuh perjuangan hidup. Sai yang merupakan rekonstruksi
peristiwa Siti Hajar mencari air Zamzam dari Bukit Shafa menuju Marwa,
merupakan lambang figur manusia yang berjuang dari niat yang tulus (shafa),
tanpa patah semangat mencapai tujuan (marwa).
Selanjutnya,
setiap calon haji diharuskan untuk
berwuquf di Arofah. Arofah merupakan sebuah padang yang luas. Di tempat
ini manusia singgah sebentar (wukuf). Lalu bermalam (mabit) di Muzdalifah dan
tinggal di Mina. Arafah berarti pengetahuan dan Mina artinya cinta. Setelah
wukuf di Arafah, para jamaah menuju ke Muzdalifah untuk mabit.
Wuquf
dilakukan pada siang hari, sementara mabit pada malam hari. Siang, demikian
Syari'ati, melambangkan sebuah hubungan objektif ide-ide dengan fakta yang ada,
sedangkan malam melambangkan tahap kesadaran diri dengan lebih banyak melakukan
konsentrasi di keheningan malam. Kemudian di Mina, jamaah melempar Jumrah. Ini
merupakan lambang perlawanan manusia melawan penindasan dan kebiadaban.
Demikianlah makna ritualitas haji yang penuh dengan simbol kejuangan hidup
manusia.
Dalam
suatu hadits Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa yang pergi haji dan
dia tidak mengeluarkan kata-kata keji serta tidak melakukan perbuatan dosa,
maka akan diampunkan dosa-dosanya seperti dia baru dilahirkan oleh ibunya.”
(HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, Ibnu Majah dan at-Tirmizi daripada Abu Hurairah).
Selain
daripada hadits diatas, doa orang yang melaksanakan ibadah haji dapat
mengampunkan dosa orang yang didoakannya. Artinya, haji itu menjadi alat untuk
mengampunkan dosa dan mengampunkan dosa orang lain. Hal ini dinyatakan langsung
oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Dosa orang yang menunaikan ibadah haji
diampunkan Allah, dan Allah juga mengampunkan orang yang didoakan oleh orang
yang menunaikan ibadah haji.” (HR. Tabrani dan Hakim).
Pada
hakikatnya, haji adalah proses evolusi manusia menuju Allah. Ibadah haji
merupakan sebuah demonstrasi simbolis dan falsafah penciptaan Adam. Gambaran
selanjutnya, pelaksanaan ibadah haji dapat dikatakan sebagai suatu pertunjukan
banyak hal secara serempak. Ibadah haji adalah sebuah pertunjukan tentang
‘penciptaan’, ‘sejarah’, ‘keesaan’, ‘ideologi Islam’, dan ‘ummah’.
Haji merupakan kepulangan manusia kepada Allah SWT
yang mutlak, yang tidak memiliki keterbatasan dan yang tidak dipadankan oleh
sesuatu apapun. Kepulangan kepada Allah merupakan gerakan menuju kesempurnaan,
kebaikan, keindahan, kekuatan, pengetahuan, nilai, dan fakta-fakta.
Dengan
melakukan perjalanan menuju keabadian ini, tujuan manusia bukanlah untuk
binasa, tetapi untuk hidup dan berkembang. Tujuan ini bukan untuk Allah, tetapi
untuk mendekatkan diri kita kepada-Nya. Makna-makna tersebut dipraktikkan dalam
pelaksanaan ibadah haji, dalam acara-acara ritual, atau dalam tuntunan non
ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangan, nyata atau simbolik.
Semua
ini, pada akhirnya akan mengantarkan seorang haji hidup dengan pengamalan dan
nilai kemanusiaan universal. Dalam
konteks niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram,
haji memiliki makna yang lebih universal dengan nilai-nilai kemanusiaan.
Haji
juga perhimpunan agung sesama Muslim dari berbagai penjuru dunia. Mereka
melaksanakan ibadah yang sama menghadap ke arah kiblat yang sama. Keadaan
seperti ini akan menimbulkan sikap perpaduan serta persaudaraan.
Jamaah
haji pergi menuju Mekkah dengan hanya berbekal barang-barang terbatas. Di tanah
air masing-masing mereka memiliki keluarga, rumah, kendaraan, kebun, ladang dan
sebagainya. Tetapi, ketika pergi haji, semua itu mereka tinggalkan. Mereka
pergi dengan hanya berbekal beberapa helai pakaian dan keperluan tertentu.
Ini
adalah gambaran kecil bahwa ketika meninggalkan alam ini, manusia tidak akan
membawa apa-apa. Meninggalkan sanak saudara. Harta benda menjadi hak ahli waris
yang ditinggalkan. Hanya iman dan amal yang menjadi bekal dalam menghadapi
perjalanan panjang di akhirat.
Pada
waktu memakai kain ihram, jemaah haji hanya memakai dua helai kain putih
sebagai penutup badan dan pelindung pada waktu panas dan dingin. Mereka
dilarang memakai pakaian berjahit. Tidak melihat yang kaya atau miskin,
jenderal maupun presiden, mereka tetap memakai pakaian yang sama.
Antara
hikmah yang tersimpan daripada pakaian ihram adalah persamaan. Pada mata Allah
tidak ada perbedaan antara seorang hamba dengan hamba yang lain. Tidak ada
perbedaan antara seorang Raja dengan rakyat jelata, tidak beda antara Jenderal
dengan Kopral dll. Hanya takwa yang menjadi pemisah dan pembeda, seperti
firman-Nya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah mereka
yang paling bertakwa.” (Qs. Al-Hujuraat : 13).
Di
samping itu, ihram menjadi gambaran bahwa pada saat meninggalkan alam fana ini,
meskipun memiliki pakaian, bahkan harta yang banyak, yang dipakai hanya
beberapa lapis kain kafan sebagai penutup badan ketika berada dalam kubur.
Di
tempat Miqot, tempat ritual ibadah haji dimulai dengan niat,
perbedaan-perbedaan status sosial dlsb
tersebut harus ditanggalkan. Semua harus memakai pakaian yang sama.
Pengaruh-pengaruh psikologis dari pakaian harus ditanggalkan. Semua merasa
dalam satu kesatuan dan persamaan.
Di
Miqot ini, apapun ras dan suku harus dilepaskan. Semua pakaian yang dikenakan
sehari-hari yang membedakan sebagai serigala (yang melambangkan kekejaman dan
penindasan), tikus (yang melambangkan kelicikan), anjing (yang melambangkan
tipu daya), atau domba (yang melambangkan penghambaan) harus ditinggalkan.
Dengan
hanya mengenakan dua helai pakaian berwarna putih, sebagaimana yang akan
membalut tubuh manusia ketika ia mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini,
seorang yang melaksanakan ibadah haji akan merasakan jiwanya dipengaruhi oleh
pakaian ini. Seorang yang berihram akan
merasakan kelemahan dan keterbatasannya, serta pertanggungjawaban yang akan
ditunaikannya kelak di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Selepas
ihrom, melaksanakan thawaf. Di Baitullah ini kita menjadi tamu Allah SWT.
Thawaf merupakan sarana pertemuan kita sebagai tamu dengan Sang Kholiq, dengan
mengelilingi ka’bah disertai dengan dzikir dan berdoa dengan khusuk.
Ka’bah
menjadi pusaran dan pusat peribadatan kita kehadirat Allah SWT, karena thawaf
identik dengan sholat dimana kita berkomunikasi secara langsung dengan Allah
SWT.
Putaran
thawaf sebanyak 7 kali merefleksikan rotasi bumi terhadap matahari yang
menandai putaran terjadinya kisaran waktu, siang dan malam, yang menunjukkan
waktu, hari, bulan dan tahun.
Thawaf
(mengelilingi Ka'bah), menurut Ali Syari'ati adalah subsistem ritual haji yang
menggambarkan penjabaran tauhid dengan simbol Ka'bah sebagai pusat konsistensi
dan kekokohan. Ka'bah adalah simbol Tuhan dan lautan manusia di sekelilingnya
adalah simbol aktivisme umat manusia. Keduanya (Ka'bah dan manusia) berjarak
tetapi tidak dapat berpisah. Dalam gemuruh thawaf, komunitas umat manusia
disatukan dalam pola yang sama dan sederajat.
Warna
pakaian dan polanya sama. Di dalamnya tidak ada identifikasi individual; tidak
dapat membedakan yang perempuan dan laki-laki, berkulit hitam dan berkulit
putih, berbadan besar dan berbadan kecil. Inilah transformasi seoarang manusia
menjadi totalitas umat manusia. Semua "aku" bersatu menjadi
"kita" yang merupakan "ummah" dengan tujuan sama; menghampiri
Allah. Di luar Ka'bah seoarang manusia dikenal dengan nama, bangsa, atau
rasnya. Tetapi ketika berada di Ka'bah ciri-ciri tersebut digantikan dengan
konsep totalitas dan universalitas. Jadi yang melakukan thawaf adalah
"orang-orang" yang mewakili "keseluruhan umat manusia".
Aktivitas
thawaf dengan demikian, mewartakan bahwa dimata Allah, perbedaan duniawi
tidaklah berarti. Pluralitas baru akan dirasakan hikmahnya justru ketika berada
dalam kebersamaan yang padu dan tunduk dalam sebuah kekuatan, yaitu kekuatan
Tuhan yang memancarkan energi kebenaran universal
Dalam
thawaf, jamaah Haji berlari-lari kecil atau berjalan mengelilingi Ka’bah
sebanyak tujuh kali. Berlari mengelilingi Ka’bah antara ratusan ribu manusia
bukanlah hal yang mudah. Pada saat itu, jemaah akan didorong, terhimpit dan
terinjak, bahkan ada yang meninggal dunia karena tidak mampu menahan gelombang
manusia.
Hanya
sikap hati-hati dan sabar serta mengharap pertolongan daripada Allah yang dapat
menyelamatkan jemaah daripada kejadian tidak diinginkan.
Apa
yang berlaku pada saat tawaf adalah gambaran kecil daripada keadaan yang akan
ditempuh ketika berada di akhirat nanti. Pada saat itu, manusia tidak dapat
bergantung kepada orang lain. Hanya amal dan pertolongan daripada Allah dan
syafaat Rasulullah yang dapat membantu.
Dalam
thawaf, kita akan didorong dan terhimpit hingga susah bagi kita untuk selalu
mendekat ke Ka’bah. Terkadang kita mendekat ke Ka’bah, terkadang kita menjauh
dari Ka’bah. Ka’bah Ibarat Tuhan, begitulah diri kita, dalam menjalani
kehidupan terkadang kita dekat dengan Tuhan, terkadang kita menjauh dari-Nya.
Puncak
daripada pelaksanaan haji adalah wukuf di Arafah. Ulama bersepakat mengatakan
bahwa wukuf di Arafah adalah rukun haji yang terpenting. Hal ini berdasarkan
sabda Rasulullah SAW: “Haji itu adalah Arafah.” (HR. Ahmad).
Di
Arafah, manusia berhimpun di bawah terik panas matahari yang membakar kulit.
Mereka masih memakai pakaian ihram yang sekadar menutup badan. Pada waktu itu,
setiap orang akan merasakan bagaimana penderitaan yang pernah dialami oleh
sahabat ketika berperang atau berdakwah diatas terik panas matahari.
Keadaan
di Arafah ini juga sebenarnya gambaran kecil daripada suasana di Padang
Mahsyar. Di mana manusia tidak dapat berlindung dan bernaung. Tidak ada tempat
untuk meminta pertolongan. Hanya amal dan takwa serta naungan daripada Allah
dan syafaat rasul-Nya yang akan menjadi pelindung.
Jika
semua rahasia dan hikmah ini disadari, maka apa pun yang dihadapi ketika berada
di Tanah Suci akan dilalui dengan sabar, seraya memohon ampunan dan
perlindungan dari Allah. Kita juga mengharapkan ihsan-Nya agar haji yang
dilaksanakan menjadi haji mabrur.
Sebagai
tamu Allah, jemaah haji sewajarnya menyerahkan dirinya kepada Allah dengan
ikhlas dan meninggalkan segala beban pemikiran yang mungkin merusak kekhusyuan
dalam beribadah. Mereka berangkat menuju Tanah Suci seolah-olah sedang berjalan
memenuhi panggilan Ilahi ketika meninggalkan alam fana ini. Datang dengan niat
dan hati yang suci semata-mata mencari keridhaan Ilahi.
Perjalanan
Haji bukanlah suatu perjalanan piknik untuk sebuah kepuasan duniawi, justru
kepuasan duniawi terkorbankan dalam rangka mendapatkan kepuasan yang lebih
tinggi.
Haji
dalam Islam memiliki nilai plus, yaitu dengan terbitnya kepuasan jiwa dan
perasaan semakin dekat dengan sang Pencipta. Perasaan dekat ini melebihi
cintanya pada harta, tahta, keluarga dan saudara. Bahkan ketika seorang hamba
menginjakkan kaki dari tempat tinggalnya menuju rumah Allah (Baitullah), ia
sudah berniat untuk bebas dari belenggu yang mengikatnya, hatinya tunduk kepada
Yang Maha Kuasa, sehingga ia merasa bahwa dunia dan isinya, luluh dan rapuh di
hadapanNya. Dengan ungkapan “Labbaika Allahumma Labbaika (Aku datang memenuhi
panggilan-Mu ya Allah)”, seorang hamba telah menancapkan bendera syukur atas
karunia yang melimpah-ruah. Dan Maha Besar Allah atas seluruh karunia-Nya.
Jika
umat Islam menghadap kiblat (ka'bah) lima kali sehari dari jarak jauh, namun
pada musim haji mereka dapat melihat Ka'bah dengan mata kepala secara langsung
ketika sedang memasuki Al-Baitullah al-Haram dan bertawaf di sekelilingnya,
tanpa terasa air mata telah bercucuran. Cucuran air mata saat itu, bukan tanda
kesedihan atau kemurungan, seperti yang terjadi dalam hidup sehari-hari, ketika
ditimpa musibah misalnya. Banyak orang tidak tahu, apa sebab dan rahasia di
balik peristiwa ini. Peristiwa ini merupakan sebuah ungkapan wajar, saat
seseorang meninggalkan keangkuhan dan kesombongan, yang selama ini menyelimuti
kehidupannya. Keadaan semacam ini kian menumbuhkan perasaan tunduk seseorang
kepada Sang Pencipta, dan kehadirannya di depan Ka'bah hanya untuk menyampai
kan penyesalan atas perbuatan-perbuatan yang telah dikerjakan, dengan harapan
kiranya Allah mengampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang.
Perasaan
dekat dengan Allah setiap saat, niscaya akan menjadikan tangis sebuah dinamo
untuk melahirkan kebahagiaan dan kemerdekaan dari lumuran dosa. Dengan taubat
yang tulus, seorang hamba enggan untuk kembali pada kejahatan. Lebih dari itu,
tangis seorang hamba di depan Ka'bah merupakan barometer kuatnya iman yang
mendorongnya untuk meninggalkan hal- hal yang dapat meracuni akidah dan
akhlaknya.
Sesungguhnya
menanggalkan rasa keangkuhan adalah kekuatan, seperti halnya memohon rahmat dan
ampunan adalah kekuatan pula. Apabila dua kekuatan tersebut menyatu, keyakinan
untuk melaksanakan perintah dan menjauhi larangan menjadi semakin kokoh.
Wuquf
di Arafah, Refleksi Padang Mahsyar. Di bukit yang membentang luas ini, seorang
hamba diantarkan untuk membayangkan dan merenungi peristiwa yang bakal terjadi
pada hari kiamat , yaitu hari dikumpulkannya kembali semua makhluk Allah di
"Padang Mahsyar", yang merupakan terminal terakhir untuk menghitung
amal baik dan buruk yang telah dikerjakan, selama di dunia. Di hadapan Allah
seluruh manusia adalah sama, baik konglemerat maupun fakir miskin, semuanya
akan menghadap kepada Yang Maha Esa, Allah Swt.
Jumroh
Aqabah, Melawan Bisikan Setan. Haji merupakan salah satu proses pembentukan
insan kamil, yang mampu melawan bisikan setan. Sebab dalam setiap gerak
kehidupan, orang tak lepas dari godaan setan. Banyak contoh yang menjelaskan
tentang betapa gigihnya godaan makhluk ini. Diantaranya adalah godaan terhadap
manusia pertama, yaitu Adam dan Hawa, dan juga terhadap Nabi Ibrahim saat
menjalani perintah Allah, yang kemudian beliau berusaha menghardiknya dengan
cara melempari makhluk jahat tersebut. Untuk itu, melempar jumrah yang dikenal
dengan Jumrah Aqabah, juga merupakan salah satu protret perlawanan terhadap
setan.
Selanjutnya,
sambil melempar batu kecil di Aqabah, hendaknya disertai niat untuk selalu
melawan bisikan setan yang sangat membahayakan. Karenanya, dengan Jumrah
Aqabah, kita berharap agar umat Islam senantiasa mampu membaca rahasia-rahasia
dibalik setiap peristiwa dalam kehidupan ini. Apakah tiap muslim sudah memiliki
missi dalam aktivitas kesehariannya? missinya baik atau tidak ? dan missinya
bermanfaat atau tidak ? Ini sebuah pelajaran yang harus diingat.
Antar
sesama manusia, ketika melaksanakan haji banyak pelajaran yang mengarah pada
pembentukan persamaan derajat. Apabila seseorang di tempat tinggal nya menjadi
tokoh masyarakat, pedagang kaki lima dan lain-lain, namun di musim haji mereka
sama. Persamaan yang semacam ini akan lebih menciptakan suasana harmonis dan
dinamis.
Sesungguhnya
Allah tidak akan melihat pada wajah seorang hamba, namun melihat kepada
hatinya. Hati merupakan standar derajat manusia antara satu dan yang lain.
Suasana haji menciptakan keakraban yang lebih dekat dan lebih membahana di
relung hati yang paling dalam. Semoga para jamaah haji dapat menangkap makna
simbol-simbol itu dan merealisasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar